Oleh: Wahjudi Djaja
Minggu pagi 7 Desember 1941. Mimpi tentara AS belum beranjak pergi dari ingatan mereka. Semalam masih dansa-dansi melepas lelah dan kepenatan di sudut-sudut pangkalan militer atau di geladak kapal USS Arizona. United State Navy adalah angkatan laut besar dan tangguh di dunia.
Belum sempat mereka puas menikmati sinar matahari yang menyembul dari pulau Oahu Hawai, Laksamana Isoroku Yamamoto dengan ratusan tentara Jepang membombardir pangkalan AL AS terbesar di Pasifik. Terbayang, saat 350-an pesawat tempur bergerak mendadak bersamaan lalu menghujani pangkalan itu dengan serangan tembakan, bom dan roket. Sementara itu dari laut bergelombang datang kapal-kapal perang dengan torpedo dan rentetan tembakan yang tiada henti.
Seluruh kapal, pesawat dan fasilitas perang yang ada di landasan pun hancur, termasuk 2.403 tentara AS tewas. Berbulan berikutnya, AS bak macan ompong di pentas PD II, linglung dengan pasukan gerak cepat Jepang. Sebaliknya, Jepang dengan cepat menghajar wilayah Asia dan menjadikannya mimpi buruk sepanjang zaman.
Momen 7 Desember 1941 itu menandai meletusnya Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia, berita kekalahan AS atas Jepang tak luput dari pengamatan para tokoh pegerakan dan perjuangan. Bahkan, jauh-jauh sebelum kedatangan Jepang, Sukarno pernah berpidato tentang Ratu Adil di Bandung pada 22 Desember 1930:
“Apakah sebabnja rakjat senantiasa pertjaja dan menunggu-nunggu datangnja Ratu Adil…Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakjat jang menangis itu, tak henti-hentinja…kapankah matahari terbit?”
Jika kemudian di Jawa muncul (kembali) jangka Jayabaya, itu antara lain disebabkan masih kuatnya cakrawala religio magis yang mengakar pada kehidupan masyarakat agraris. Beredarlah pamflet zaman Jepang, “Balatentara Jepang akan mendarat di Indonesia untuk mewujudkan ramalan Sri Baginda Jayabaya…”. Kemerdekaan rakyat akan tercapai bila telah datang orang-orang bertubuh kerdil, berkulit kuning, dari utara dan lamanya seumur jagung (Bernard Dahm, 1987).
Bisa dipahami jika kemudian Jepang lebih mudah bisa memobilisasi penduduk untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Dan Soekarno sangat paham bahwa mitos sebagai alat komunikasi massa, peranannya justru efektif karena bisa mendorong perbuatan atau proses sejarah (Kuntowijoyo, 1995).
Kedatangan Jepang yang memberi harapan itu dijadikan inspirasi para sastrawan. Coba simak puisi Rosihan Anwar “Kisah di Waktu Pagi” berikut:
Seperti perdjurit memeras daja
Pagi dan sendja tiada beda
Senantiasa berdjalan di labuh raja
Bertudjuan njata hingga saatnja
Bangsa bersemajam di Puntjak nan Djaja
Akupun ingin seperti mereka
Di lapang kerdjaku berbaktikan daja
Guna kemenangan segala kita
Perang Pasifik meletus. Indonesia pun terseret dalam pusaran krisis global. Rakyat, melalui para pemimpin, dimobilisasi untuk beragam kepentingan. Di sela-sela itu, peluang demi peluang diambil oleh para tokoh perjuangan. Bahasa Belanda dilarang, Bahasa Indonesia diberi ruang dan masuklah para sastrawan–eks Pujangga Baru–ke medan juang melalui karya mereka. Bahasa Indonesia pun menjadi kekuatan integratif bangsa yang efektif.
Entah siapa yang pertama kali menemukan kata “merdeka” sehingga bisa mewadahi aspirasi berjuta anak bangsa. Hanya dengan satu kata, mereka bisa bersatu, bergerak dan mempertaruhkan harta, benda dan nyawa. Bagi para pemimpin yang padanya ada keteladanan, kewibawaan dan kesamaan perkataan dengan perbuatan, teriakan mereka dalam sekejap bisa membangkitkan heroisme dan pengorbanan. Pemimpin yang tak hanya bisa berteriak, tapi teriakannya bisa membelah langit sehingga bisa membuka pintu keberkahan bangsa besar ini.
Pemimpin seperti itu, entah kapan lagi akan datang. Seperti menunggu datangnya Ratu Adil-kah? Atau siapa yang bisa membebaskan bangsa ini dari duka nestapa berkepanjangan? Mungkin hanya ada dalam mitos, atau sejarah yang sedang kita rancang.
Ksatrian Sendaren, 7 Desember 2023
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA), Penerima Anugerah Kebudayaan Sleman 2023



