Peniup Seruling dari Hamelin

Oleh: Dibyo Sumantri Priambodo*

Ada sebuah kisah klasik berjudul “Pied Piper of Hamelin”, atau “Peniup Seruling dari Hamelin” yang bisa menjadikan cermin kehidupan sosial-politik masa kini.

Terceritakan ada seorang peniup seruling andal dengan pakaian warna-warni, memainkan beragam musik yang merdu untuk memikat anak-anak kecil di kota Hamelin. Anak-anak kecil di penjuru kota Hamelin sangat terkesan bahkan terpesona mendengar lagu-lagu merdu tiupan serulingnya.

Anak-anak tersebur kemudian berbaris dengan ceria mengikuti sang peniup seruling, sampai jauh meninggalkan kota. Dan di akhir cerita, ternyata anak-anak kecil tersebut hilang tak tentu rimbanya. Tidak pernah kembali lagi ke rumahnya.

*******

Konon hilangnya anak-anak saat mengikuti sang peniup seruling, ternyata bertali-temali dengan bentuk “balas dendam” sang peniup seruling kepada Raja Hamelin, karena sang peniup seruling merasa dibohongi Raja Hamelin.

Sang peniup seruling pernah dapat proyek dari Raja Hamelin untuk membasmi ribuan tikus yang merajalela untuk dimusnahkan lewat kepiawaiannya meniup seruling.

Ketika mendengan lagu-lagu dari tiupan seruling, ribuan tikus itu sertamerta mengikuti peniup seruling, sampai ke tepian pantai lantas terjun beramai-ramai ke laut, tenggelam dan mati.

Waktu pun berjalan cepat. Proyek pemusnahan hama tikus telah lama berlalu. Sayangnya, Raja Hamelin tidak membayar jasa sang peniup seruling, sebagaimana pernah dijanjikan.

Oleh karena itu, amarah sang peniup seruling memuncak, lantaran kewajibannya telah diselesaikan dengan baik, tetapi, sang raja tidak menepati janji untuk membayar hak atas upahnya.

Hingga sang peniup seruling melampiaskan amarah serta dendamnya dengan melenyapkan anak-anak di kota Hamelin, sebagaimana ia memusnahkan hama tikus.

**********

Amarah yang membara dan balas dendam tidak mustahil muncul di hati siapapun. Akibat ketersinggungan, merasa dibohongi ataupun lantaran menyadari ada yang ingkar janji.

Ironisnya dalam kehidupan sosial politik dengan beban kehidupan yang berat, memungkinkan semuanya menjadi kenyataan.

Ada tengara beban berat akan melahirkan “kecerdasan kolektif” dalam pola pikir masyarakat. Makin berat beban kehidupan, masyarakat, akan kehilangan daya kritis, sensitivitas, nalar sehat, dan kerancuan daya pikir, sehingga masyarakat cenderung “latah”, tidak berpikir panjang untuk melakukan tindakan tertentu.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan, tidak sedikit anggota masyarakat yang bersikap latah, lantas melakukan perilaku tertentu tanpa mengerti visi, misi maupun strategi, dari perilaku orang yang diikutinya.

Seperti halnya kisah tikus dan anak-anak dari Hamelin yang latah mengikuti nada sang peniup seruling.

Saat ini ada kecenderungan jika sang pemimpin melakukan sesuatu, maka anak buah akan latah mengikuti, tanpa tahu tujuannya, dan tanpa pikir panjang.

*********

Oleh karena itulah, para pakar psikologi menyarankan, seyogyanya sebelum bertindak, setiap orang memahami segala sesuatunya secara utuh menyeluruh. Setiap orang sepatutnya juga memiliki “self concept” yang kokoh, bukan dibangun atas “kecerdasan kolektif”, sehingga gampang terkagum-kagum, terkesima, kemudian latah mengikutinya.

Pada sisi lain, seseorang diharapkan memiliki kepekaan sosial, dan daya kritis, hingga tidak mudah “terpesona” dengan kata-kata indah, beragam retorika, kebohongan, iming-iming harta melimpah, atau busana mewah, seperti anak-anak kecil dari Hamelin.

Begitulah sesungguhnya makna yang tersirat dari kisah klasik berjudul “Peniup Seruling dari Hamelin”. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua.

Galeri Omah Gagas, 6 Juni 2024

*Seorang Penulis, Mantan Direktur SDM dan Keuangan PT Krakatau Steel Grup


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co