Oleh: Anif Punto Utomo
Swiss. Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar Swiss? Negeri identik dengan cuaca dingin, bahkan negeri berselimut salju. Pikiran itu terprovokasi karena selalu melihat foto-foto tentang Swiss yang banyak salju. Dalam film-film pun lebih sering tergambarkan sebagai negeri yang setiap orang lewat nyaris selalu berjaket tebal.
9 Juli 2023, musim panas tentunya di Swiss. Meskipun musim panas, saya pikir yang namanya Swiss ya tetap dingin atau sejuk, minimal seperti Temanggung malam hari di musim hujan. Suku 20 deajat selsius.Tetapi begitu turun dari kereta –yang mengantarkan kami dari Munchen– di stasiun Zurich, hawa hangat sudah terasa. Dan ketika keluar dari stasiun, saat itu sekitar pukul 10.30 panas sudah sepanas Jakarta di tengah hari.
Dari stasiun di tengah cuaca panas itu, piknik dimulai dengan berjalan kaki untuk menuju Museum Nasional Swiss. Tidak jauh, hanya 20 menitan jalan kaki dari stasiun. Rupanya museum seni yang menceritakan sejarah budaya Eropa itu berada di tepi Sungai Limmat. Begitu melihat sungai, langsung kepikiran lari susur sungai.
Bangunan museum yang kuno artistik Museum Nasional itu dibuat oleh Gustav Gull pada tahun 1898 dengan bentuk istana perkotaan bergaya Renaisans Prancis. Museum ini merupakan museum nasional terbesar di Swiss. Koleksinya mencakup beragam bidang, termasuk sejarah, seni, dan budaya Swiss dari zaman prasejarah hingga saat ini.
Di halaman dalam museum sedang ada pameran seni, tetapi tak banyak yang dipamerkan. Sedangkan di auditorium museum ada diskusi yang menyangkut tentang tokoh Islam dan pandangannya tentang modernisasi, sehingga di sekitaran museum banyak bertemu perempuan berjilbab. Kebanyakan mereka dari Turki.
Persis di sebelah museum terhampar taman nan hijau, Platzspitz, sebuah taman rindang dengan pohon-pohon besar. Tempat ini menjadi favorit warga lokal dan turis. Kita bisa duduk-duduk santai di tengah taman yang luas, atau duduk di tepi sungai Limmat memandang sungai dengan memunggungi taman.
Saat duduk-duduk di taman itu pula saya merencanakan lari menysur sungai. Kali ini lari dilakukan sore hari, karena besok pagi harus berangkat ke Milan. Setelah sedikit mempelajari peta dekat-dekat hotel dan Sungai Limmat, jalur yang nanti saya lalui adalah Botanical Garden, Danau Zurich yang tersambung ke Sungai Limmat dan kota tua Altstadt.
***
Hari itu, jadwal magrib di Zurich pukul 21.50. Di Jakarta sebagian orang sudah terlelap, di Zurich matahari baru mau tenggelam. Maklum musim panas, matahari lama menampakkan diri. Saya start lari dari hotel sekitar 18.45. Matahari masih memancar keras, suhu udara sekitar 32 derajat selsius. Lupakan persepsi Swiss negara dingin.
Rute pertama adalah menuju Botanical Garden Zurich atau Botanischer Garten Zürich, 15 menitan dari hotel. Ini adalah taman botani yang banyak menarik pengunjung. Beberapa kelebihan dari Botanical Garden Zurich di antaranya koleksi tumbuhan yang beragam mulai dari jenis tanaman alpine, subtropis, sampai tropis. ada juga tanaman obat-obatan, tanaman langka, atau tanaman yang beradaptasi dengan iklim tertentu.
Taman ini juga menjadi pusat penelitian dan pendidikan. Banyak institusi pendidikan dan penelitian menggunakan fasilitas ini untuk studi ekologi, taksonomi, dan konservasi tumbuhan. Botanical Garden sekali waktu menawarkan program pendidikan dan tur yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya keanekaragaman hayati, konservasi, dan peran tumbuhan dalam ekosistem.
Ketika sampai di taman, ternyata sudah tutup. Jam beroperasi buka pukul 07.00 dan tutup pukul 19.00.
Sekelebat di taman botani, langsung meluncur ke Sungai Limmat yang sekaligus menjadi ujung dari Danau Zurich. Danau indah di tengah kota yang menjadi favorit warga terutama di musim panas. Ada yang mandi, ada yang berenang, ada yang naik perahu, dan berbagai kegiatan. Di beberapa tempat tampak angsa-angsa putih bercengkerama di tengah sungai.
Dan, wow! Rupanya saat itu bertepatan dengan diadakannya festival tiga tahunan di pinggir Danau Zurich dan Sungai Limmat. Masyarakat lokal dan sebagian turis berpesta di tepi sungai sepanjang tiga dua-tiga kilometre. Zurich Festival (Züri Fäscht) begitu nama festival yang berlangsung 7-9 Juli 2023.
Ratusan ribu pengunjung muda-tua, laki-perempuan, datang untuk minum, mendengarkan musik, dengan berpakaian warna-warna yang mempesona. Ada juga yang melenggang dengan bikini. Di sini bisa juga menikmati kelezatan kuliner di warung makan lokal, pertunjukan kembang api, musik live, dan musik techno yang menghentak-hentak. Mereka berpesta dari sore hingga keesokan paginya.
Di tengah keriuhan itu saya lari pelan-pelan. Kadang harus meliuk kiri-kanan karena berpapasan dengan rombongan pemuda-pemudi. Sesekali melirik ke tepi sungai karena ada yang sedang berenang dengan pakaian seadanya. Kadang berhenti sebentar melihat penampilan band lokal. Live music tersedia untuk anak-anak muda ada dan untuk senior.
Di panggung senior, sebuah grup band menyanyikan lagu Jambalaya (On The Bayou) dari Carpenter. Sekitar tujuh orang berdansa di depan panggung, salah satunya perempuan 50an tahun. Dia asyik dansa sendiri. Tiba-tiba masuk ke arena, laki-laki 70 tahun, per lahan-lahan mendekati perempuan itu dan mengajak berdansa berpasangan. Menjauh. Berusaha lagi. Menjauh lagi. Sekali lagi berusaha dipunggungi, laki-laki itu pun minggir dengan raut wajah tampak kecewa.
Tujuan berikutnya adalah kota tua (Altstadt). Berada di pinggir sungai Limmat juga. Altstadt adalah pusat sejarah dan budaya kota Zurich. Altstadt Zurich memiliki arsitektur bersejarah yang menarik, dengan bangunan-bangunan tua yang mencerminkan warisan sejarah dan budaya kota.
Bagi yang suka belanja di situ terdapat berbagai toko dan butik yang menjual barang-barang unik, antik, dan produk lokal. Jalan-jalan seperti Bahnhofstrasse terkenal sebagai salah satu jalan belanja utama di dunia. Ada juga pasar tradisional yang menawarkan berbagai produk lokal, makanan, dan kerajinan tangan. Ini memberikan kesempatan untuk merasakan kehidupan lokal dan membeli barang-barang khas Swiss. Sayang ketika saya lewat sekitar pukul 20.30 sudah pada tutup.
Dari kota tua, saya kembali ke hotel lewat pinggiran sungai yang menjadi ajang pesta rakyat itu. Semakin petang suasana semakin ramai. Sesekali berhenti lagi mendengarkan musik jalanan atau sekadar melihat orang mabuk berdansa diiringi gedebug-gedebug musik tekno. Sampai di situ rupanya saya sudah lari santai sejauh 6.03 kilometer.
Setelah minum di air pancuran (yang layak untuk diminum) saya balik ke hotel. Saya ukur di googlemaps, jaraknya sekitar 2,4 kilometer. Sebetulnya pengen menikmati sunset di pinggiran danau, kapan lagi ada kesempatan. Tetapi kuatir kemaleman. Saat itu saja sudah pukul 21.00.
Satu hari satu malam terlalu pendek untuk menikmati Zurich, sebuah kota yang dengan ratusan museum dan galeri seni, istana dongeng, gereja, merek fesyen internasional terkemuka, dan sejumlah besar restoran yang menyajikan masakan kelas dunia. Tetapi beruntung saat itu pas ada acara Festival Zurich yang hanya berlangsung tiga hari dan tiga tahun sekali.
*Jurnalis & Penulis Senior



