Oleh: Wahjudi Djaja*
Lahir pada 17 Oktober 1951–tanggal yang mengingatkan kita pada Peristiwa 17 Oktober 1952 saat KSAD AH Nasution dan tujuh panglima daerah mendesak dibubarkannya DPRS–dari keluarga terpandang. Anak Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, cucu pendiri BNI Margono Djojohadikusumo, menantu penguasa Orde Baru Soeharto. Dunia yang digeluti, mulai militer, bisnis, politik dan keluarga, tak henti diperbincangkan khalayak. Berkemauan keras dan kuat, Prabowo Subianto, ketiga kalinya maju menjadi calon presiden Republik Indonesia.
Patriot di Masa Damai
Dalam banyak kesempatan Prabowo mendaku diri sebagai seorang patriot. Anies Baswedan saat diminta satu kata tentang Prabowo dalam forum APEKSI pun dengan tegas menjawab, “Patriot”. Menurut KBBI, patriot adalah pencinta (pembela) tanah air. Bagi seorang militer, apalagi tumbuh besar dalam kesatuan Kopassus, tak ada yang meragukan predikat itu. Kesatuan ini memiliki rekam jejak yang luar biasa dalam membela dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan bangsa.
Memiliki jiwa patriot tentu tidak salah. Itu justru menjadi salah satu karakter yang harus ditanamkan sejak dini pada diri anak-anak generasi penerus bangsa. Tetapi bagaimana formula, konteks dan caranya agar–efek ini yang melekat dan sulit dilepaskan–tidak berbau militeristik, menjadi kebutuhan kita untuk selalu dikonfirmasi dan diklarifikasi. Masyarakat memiliki ingatan yang belum pudar bagaimana rezim Orde Baru menempatkan stabilitas keamanan menjadi fondasi kebijakan yang, kemudian, berdampak pada sikap represif, anti-HAM dan terbatasnya ruang demokrasi. “Gebug” menjadi idiom khas saat menghadapi kelompok yang kritis pada negara. Dalam konteks itu, gerakan reformasi muncul dan disuarakan hingga menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa hampir tiga puluh tahun.
Dua warna reformasi tak bisa dilepas begitu saja dari diri Prabowo. Pernah menjadi bagian dari Keluarga Cendana, dugaan penculikan sejumlah aktivis, dan menggerakkan pasukan di sekitar 1998 yang berakibat menjalani persidangan DKP di satu sisi, sementara di sisi lain keinginan untuk berkiprah bagi bangsa dan negara–hal yang diidentikkan sebagai tugas seorang patriot–makin membara di dada karena menjadi hak setiap warga negara. Ikut konvensi Partai Golkar pada 2004 tetapi kalah, SBY-JK yang kemudian berkuasa. Prabowo pun mendirikan Partai Gerindra pada 2008, sebuah partai politik berlogo Garuda yang menjadi kendaraan politik baginya.
Pada Pilpres 2009–melalui Perjanjian Batu Tulis yang fenomenal itu–Prabowo menjadi cawapres Megawati. SBY masih belum bisa dikalahkan, berpasangan dengan Boediono. Giliran pada Pilpres 2014 Prabowo menjadi capres, tetapi berpasangan dengan Hatta Rajasa, tokoh PAN besan SBY. Diulangi lagi dalam Pilpres 2019, tetapi Sandiaga Uno yang menjadi cawapresnya. Dalam dua pilpres terakhir, pasangannya kalah dari Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf. Beruntung, pada periode kedua, Jokowi memilihnya menjadi Menhan, posisi yang membuka jalan lebih lebar bagi karier politiknya meskipun dianggap menyakiti hati para pendukungnya. Kini, berpasangan dengan Gibran–anak Jokowi, Walikota Solo–Prabowo bersiap mengikuti Pilpres 2024 dengan menyertakan pertanyaan soal etika dan politik dinasti.
Membaca transformasi hidup seorang Prabowo dari patriot menjadi politisi memberi kita beragam pengayaan. Ada upaya untuk mendedikasikan hidup pada bangsa dan negara seperti–Saya ingin melihat, sebelum saya meninggal, Indonesia menjadi negara yang bermartabat, negara terhormat– refleksinya di UGM (19/9/2023) dipandu Najwa Shihab. Ada pula etika dan prosedur demokrasi yang harus dipatuhi agar–seperti kata Prabowo–Indonesia bisa maju dan bermartabat.
Kalah Itu Sedih
Tak terbayang pernyataan itu muncul dari seorang patriot, eks pasukan elite, dan pernah memimpin pasukan di berbagai medan operasi. Tapi itulah yang dikatakan Prabowo di hadapan Kadin dalam Dialog Capres (12/1/2024). Sebuah transformasi nampaknya sedang dia jalani, dari seorang yang dicitrakan tegas, keras menjadi akomodatif, aspiratif dan–belakangan seolah menyesuaikan dengan zaman–menjadi gemoy. Beberapa saat menjadi trending topic sebelum dikalahkan Desak Anies. Prabowo yang selalu berkobar-kobar saat berorasi, bahkan sampai menggebrak meja podium, makin menunjukkan gimmick politik sambil mencoba menonjolkan sisi terdzolimi dan melankolis. Jagad maya ramai dengan adanya gerakan tangisan dari para pendukungnya.
Agak mengherankan juga, Prabowo–yang lama hidup di luar negeri dengan penguasaan beberapa bahasa asing–justru terlihat kurang memahami makna dan batasan sebuah debat. Entah merasa superior atau senior, bahasa tubuh dan ucapannya pada Anies Baswedan–misalnya–dianggap merendahkan dan menyerang pribadi. Kata-kata tak pantas dikeluarkan dari calon pemimpin seusai debat–dalam beberapa forum–jelas mendegradasi posisinya yang semula memuncaki hasil survei. Ajakan bertemu di luar arena debat untuk membahas masalah pertahanan yang ditanyakan–pada debat kedua yang menjadi bidangnya–dan masalah pertanian di hadapan Kadin dengan mengajak peserta ke Hambalang, bisa dinilai kurang efektif dalam memanfaatkan waktu debat. Apalagi di hadapan pendukungnya Prabowo masih memperpanjang masalah yang diangkat dalam perdebatan dengan mengolok-olok pasangan lain, ini pun bisa dinilai kurang dewasa dalam bersikap.
Bisa jadi Prabowo sedang memanfaatkan momentum. Jokowi tak mungkin memperpanjang jabatan, membuka ruang lebar baginya untuk maju kontestasi kembali. Berharap mendapat keuntungan dan efek kekuasaan–dengan posisi Menhan dan mengambil Gibran sebagai cawapres–Prabowo justru harus bersusah payah menjelaskan dan mengklarifikasi pada publik. Momen terbaiknya sebetulnya ada pada Pemilu 2019. Dalam pemilihan yang menyisakan pertanyaaan tentang pelanggaran–yang dianggap merugikan pihaknya–Prabowo tampil seperti nasionalis sejati. Kini, dia seolah harus menjilat dan menelan beragam pernyataannya sendiri. Hal dan permasalahan yang dulu dia serang, sekarang harus dia bela dan pertahankan. Tak aneh, jejak digitalnya diangkat kembali menjadi media untuk mengklarifikasi konsistensi dari sikap dan ucapannya.
Pemilu 2024 tinggal sebulan lagi. Kita tetap harus memberikan ruang secara adil dan terbuka kepada ketiga kontestan, termasuk Prabowo. Jika boleh berharap, kita meminta Prabowo–yang pada periode awal karier militernya mendapat julukan The Rising Star–untuk menampilkan sifat kebapakan dengan beragam wisdom yang dia ambil dari beragam perjalanan dan pengalaman hidup. Itu jauh kita nantikan.
Bisa jadi inilah, justru, kesempatan terbaik kita dalam menunjukkan sikap kedewasaan yang sesungguhnya. Memilah sebelum memilih harus dilandasi kesadaran bahwa, Indonesia harus terus ada sampai akhir dunia. Timbul dan tenggelam adalah biasa dalam sejarah, tetapi–tetap saja–kejayaan bangsa ditentukan oleh kemauan kita untuk bangkit dan berkarya.
(Bersambung)
Ksatrian Sendaren, 13 Januari 2024
*Pembelajar demokrasi



