“Polisi sudah ada, juga lembaga lain, nah, kami ingin Lembaga Kejaksaan pun memiliki simbol kepahlawanan. Dan ini kami temukan pada Jaksa Agung R. Soeprapto.”
Kalimat ini muncul dari Kajati DKI Jakarta, Dr. R. Jatna Narendra, S.H., L.LM saat kantornya menyelengarakan Bedah Buku Jaksa Agung Suprapto, pada Kamis (14/3/2024). Hadir sebagai pembahas adalah Iip D. Yahya, Fachrizal Afandi, Asvi Warman Adam, Usman Hamid serta keluarga besar R. Soeprapto.
Buku berjudul Jaksa Agung Soeprapto dan Sejarah Pertumbuhan Kejaksaan Republik Indonesia yang ditulis oleh Iip D. Yahya ini merupakan perluasan dari bukunya terdahulu, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum periode 1950-1959.
Soeprapto dan Reformasi Kejaksaan
R. Soeprapto, meminjam istilah sekarang, bukan kaleng-kaleng dalam kinerja maupun karya baktinya untuk negara dan bangsa. Dia mewarisi lembaga kejaksaan yang compang-camping dan memiliki banyak pekerjaan rumah begitu lepasnya Indenesia dari perang kemerdekaan, Republik Indonesia Serikat (RIS), dan kembalinya menjadi negara kesatuan.
Dalam pengamatan peneliti kejaksaan, Fachrizal Afandi, Ph.D, dua pakar Daniel Lev, seorang pakar hukum dan Herbert Feith, pakar politik, sama-sama kompak menilai Sang Jaksa Agung bersama para penegak hukum waktu itu hendak mengedepankan kejaksaan sebagai penjaga prinsip hukum dalam rangka memperkuat profesionalisme jaksa dalam mempromosikan supremasi hukum. Etos R. Soeprapto sebagai officer van justitie, membuat warisan sistem hukum Belanda itu berjalan secara mengesankan.
Dengan berbekal UU Darurat 1 Tahun 1951, Soeprapto memiliki otoritas atas pengawasan penyidikan dan penuntutan kasus pidana yang melibatkan militer. Karena itulah, dalam 9 tahun memegang Korps Adyaksa, Soeprapto sempat menuntut dan menghukum Menteri Kehakiman, Mr. Jody Gondokusumo dan Mayjen Hamid Al Gadri, Sultan Pontianak yang divonis berkhianat kepada Republik Indonesia.
Namun kiprahnya ternyata membuat gerah, termasuk Presiden Soekarno. Jaksa Agung ini diberhentikan dari jabatannya. Pada 22 Juli 1960, hari diputuskannya perpindahan hierarki kejaksaaan, diresmikan sebagai “Hari Bakti Adyaksa”. Sementara banyak peneliti kejaksaan menganggap 22 Juli 1960 sebagai amputasi upaya Soeprapto dalam melakukan Reformasi Kejaksaan sebagai Lembaga Penuntutan paling disegani di masanya.
Mempertimbangkan R. Soeprapto sebagai Pahlawan Nasional
Sejarawan Asvi Waman Adam, Ph.D melihat, tidak ada yang memberati R. Soeprapto sebagai tokoh nasional mengingat jejak perjuangannya. R. Soeprapto adalah nasionalis republikan yang teguh, jaksa yang tegas dan konsisten, serta tak memiliki sifat tercela dan tugas-tugas yang diembannya. Ia meminta pihak Kejaksaan agar lebih keras memperjuangkan panutannya tersebut sebagai pahlawan nasional.
Usman Hamid, aktivis Amnesty International Indonesia dan Dewan Pakar PERADI, malah menganggap kelemahan R. Soeprapto sebagai kekuatannya. Usman yang masih terbilang kerabat R. Soeprapto ini menegaskan, bahwa perceraiannya dengan istrinya adalah akibat dari mementingkan tugas negara. “Sementara sekarang, bahkan negara dipakai sebagai perpanjangan kepentingan keluarganya,” ujarnya.
Suatu insidensi yang sinergis saat bertemunya karya Iip ini sebagai telaah akademik dengan keperluan Kejaksaan Agung yang butuh sosok panutan dan simbol kepahlawanan korps mereka.
Setidaknya Kejaksaan Agung telah menegaskan kembali rintisan yang dijalankan panutannya dahulu, yakni mengembalikan singkatan Persatuan Jaksa Indonesia dari PJI ke Persaja, sekaligus peringatan hari lahir Organisasi Jaksa dari 15 Juni 1993 kepada tanggal 6 Mei 1951. Tentunya, masih perlu reformasi struktural, independensi Jaksa Agung maupun Kejaksaan Agung demi meniru sosok teladan bapak kejaksaan.
(Wakhid Nur Effendi)



