Radhar Panca Dahana: Manusia Dengan Nalar dan Kekuatan Bahasa

Oleh: Wahjudi Djaja*

Hari ini 59 tahun silam lahir sastrawan budayawan Radhar Panca Dahana. Secara akademis dikenal sebagai seorang sosiolog, tetapi nama besarnya berkibar di belantara sastra. Saat sakit mendera, Bang Radhar–demikian saya biasa sapa beliau–energinya untuk memikirkan sastra seolah tak padam. Bahkan lantang menyuarakan keprihatinan terkait renovasi Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Seperti namanya, dia seperti di-back up panca (lima) dahana (api) sehingga terus membara dan bergelora. Ajal memanggilnya pada 22 April 2021.

Lama berteman di Facebook, Bang Radhar tergolong aktif dalam menulis ide, aspirasi dan gerakannya. Ramah dengan sesama teman dunia maya, entengan menanggapi postingan. Suatu saat di tahun 2012 membuat semacam kuis di Fb tentang hal ihwal mudik. Uniknya, bagi yang komentar jawabannya benar akan diberi hadiah berupa buku. Dan tak terduga, pemenang itu adalah saya. Buku berjudul “Republik Reptil dan Drama-drama Lainnya” pun saya terima–melalui pos–dengan penuh kegembiraan.

Pertemuan saya dengan Bang Radhar terjadi di TIM. Saat itu, di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Rabu 26 September 2012 diselenggarakan Diskusi Kebudayaan. Tema diskusi cukup menggelegar, “Rusak Budaya, Hancur Negara”. Diskusi dengan narasumber GM. Sudarta, Johan Silalahi, Radhar Panca Dahana, Abdul Hadi WM, Zawawi Imran, Sys NS, Prijo Budi Santosa (Waket. DPR), Hajriyanto Y Tohari (Waket. MPR), Rocky Gerung, Teguh Juwarno, dan Deddy Mizwar. Reportase acara itu saya tulis di Koran Merapi (30/9/2012) dengan judul Rusak Budaya, Hancur Negara.

Bang Radhar keras menantang untuk mengadakan Revolusi Kebudayaan. “Kebudayaan kontemporer yang bersendikan kapitalisme jelas bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, harus ada perubahan radikal dan mendasar menyangkut strategi dan laku budaya kita“.
Mendasar dan strategis pemikiran yang dilontarkan. Hal yang jarang disampaikan sastrawan atau budayawan saat melihat fenomena makin terpinggirkannya masalah kebudayaan.

Di luar itu, pemikiran-pemikirannya saya ikut melalui media massa surat kabar terutama Republika dan Kompas. Kebetulan saya suka membuat kliping, banyak tulisannya yang autentik bisa saya nikmati bahkan jauh sebelum saya bertemu langsung dengannya. Tulisannya kaya, lengkap dan lintas bidang.

Pada Kompas (29/1991) dalam artikel “Mencari Manusia di Teater Indonesia”, dia menulis:
Teater modern Indonesia kini jelas dihadapkan pada tuntutan ontologis untuk lebih dulu menjelaskan ada dan tiadanya manusia, yang memungkinkan terjelmanya sebuah peran di atas panggung. Jika ia tidak menghendaki hadirnya melulu manekin atau simbol-simbol arketipik yang membosankan atau tidak mampu menjelaskan kekinian penontonnya. Tak mengherankan jika almarhum Wahyu Sihombing pernah menyatakan bahwa progresi publik teater Indonesia adalah sebuah bencana kecuali mereka yang berharap bisa bermimpi di kursi penonton, sebagaimana yang ditawarkan banyak sinepleks“.

Terkait dunia sastra, Bang Radhar juga secara lugas mengkritisi setelah lama berkeliling di berbagai kota. Dalam artikel “Sastra Kita Dalam Bungkus Prasangka”, Republika (4/12/1994) dia menulis:
Acap saya merasa lucu, ketika saya harus disembunyikan atau dilarikan oleh penyelenggara acara di suatu daerah, hanya agar saya tak sempat berdialog dengan pekerja-pekerja seni yang menjadi ‘lawan’ atau ‘tak sepaham’ dengan penyelenggara. Seolah persentuhan gagasan apalagi fisik dengan pihak ‘lain’ akan memerosotkan harga diri atau kualitas ‘ideologis’ kita. Saya hendak mengatakan, bahwa untuk banyak kasus hal ini pun terjadi di kota yang sudah sedemikian maju seperti Jakarta“.

Begitulah, kohesi sosial sering terganggu karena ketiadaaan ruang dialog yang demokratis. Ego menguat dan menjadi sekat yang membatasi manusia-manusia yang padanya ada tanggung jawab peradaban. Dalam kondisi itu, sastra(wan) dihadapkan pada sesuatu yang lebih serius.

Dalam “Ruang Kosong dari Kematian Sastra Klasik”, Kompas (15/1/1995) Bang Radhar menulis dengan sangat jelas:
Pendulum peran sastra yang menyeretnya kembali pada ideologi klasik akan peran edukatif, dulce et utile, delectare, maupun movere, membuat kritik sastra jadi ambigu: menolak karya klasik namun menghamba pada dogmanya. Ketergelinciran seperti inilah yang mesti dengan baik diperiksa, khususnya untuk melihat bagaimana sastra telah, sedang dan akan mengambil peran hidup bernegara dan berbangsa di kepulauan ini“.

Pemikiran yang jernih terkait dunia besar sastra diartikulasikan dengan jelas dan tuntas. Bahasa, dengan demikian, tak hanya berperan sebagai media komunikasi semata tetapi juga representasi atas posisi diri dan kuasa. Pada periode Orde Baru–saat fenomena kekuasaan begitu kasat mata terbahasakan–mengamatinya menjadi tema tersendiri. Dalam konteks ini, menarik membaca tulisannya “Kudeta Bahasa” di Republika (3/7/1996):
Bahasa ternyata telah diposisikan tak lebih dari sebuah siasat, taktik atau strategi, sebagaimana kita menerapkan sebuah sistem organisasi atau teknik manajemen tertentu. Kualitas dan kapasitasnya awalnya sebagai ‘pintu pemahaman pertama’ pada kenyataan telah digeser oleh kekuatan teknologi modern, yang pada mulanya hanya menjadi fungsi turunan. Bahasa kini adalah teknologi yang dengan kreativitas dari vested interests mampu dimodifikasi untuk melayani sebuah tujuan (dari golongan) tertentu. Ia tidak lagi sebuah kebenaran (sebagaimana keyakinan ini diturunkan oleh peradaban mistis-mantra), namun lebih pada sesuatu ‘yang dibenarkan“.

Membaca tulisan Bang Radhar Panca Dahana seperti dituntun menapaki dan menyelami semesta permasalahan kesusastraan dan kebudayaan. Dalam banyak hal, beliau turut andil saat saya menulis skripsi “Bahasa dan Nasionalisme: Peran Bahasa Melayu Dalam Perjalanan Keindonesiaan 1900-1945” di FS UGM tahun 1995.

Selamat ulang tahun Bang Radhar. Selamat menapaki hidup di keabadian, semoga berkah berpahala segala ilmu dan gerakan kebudayaanmu. Aamiin

Ksatrian Sendaren, 26 Maret 2024
*Alumni FS UGM, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co