Oleh: Achmad Charris Zubair*
Bahasa Jawa dan juga Sunda mengenal unda usuk, tataran ngoko, krama madya dan krama inggil. Yang mengisyaratkan adanya hirarkhi dalam pergaulan antar manusia. Baik karena usia, pangkat dan jabatan maupun kedekatan interpersonal.
Selain itu konon ada dua bahasa yang tidak atau sangat sedikit memiliki kosakata “makian”, dan keduanya memang tidak lagi dipakai dalam perbincangan dan komunikasi sehari-hari. Yakni Latin dan Ibrani. Kalau makian sebagai ekspresi kemarahan atau bahkan kekasaran dianggap sebagai kenistaan komunikasi, maka boleh jadi bahasa Latin dan Ibrani adalah puncak beradabnya manusia dalam membangun relasi simbolik dalam berkomunikasi melalui bahasa. Atau karena bahasa tersebut sudah tidak “dipakai” untuk berkomunikasi, sehingga tidak berkembang termasuk diksi makian dan kemarahan serta representasi pikiran kotornya.
Pantaslah (karena sudah tidak berkembang dan tidak di”pakai” sehari hari) bahasa Latin digunakan sebagai standard terminologi ilmu pengetahuan manusia. Tuhan juga mewartakan kebenaran firman-Nya melalui kitab-kitab suci, Zabur, Taurat, Injil dan Alquran melalui bahasa Ibrani dan derivasinya seperti bahasa Arab.
Kalau ada adagium bahasa menunjukkan bangsa, kita lihat bahasa komunikasi kita sebagai bangsa dengan dinamikanya. Mengapa pertemuan unsur-unsur kimia yang merupakan benda tak hidup disebut “bersenyawa” sementara hubungan manusia sebagai makhluk hidup justru disebut “bersetubuh”?
Perkembangan kosakata makian dan mesum serta bahasa “alay” dalam komunikasi kita semakin banyak dan tumbuh pesat. Hampir seluruh nama binatang yang pada dasarnya netral sekarang menjadi representasi amarah, makian, cemoohan, seperti: anjing budhuk, monyet gila, kucing garong, buaya darat, kecebong, kampret dll. Kata-kata mesum bertaburan dimana-mana, menambahkan kosa kata yang tidak dikenal di masa lalu seperti: ngentot, nyepong, bokep, ngewe, ngenthu dll. Setiap pemilu dan pilpres, nyaris melahirkan diksi yang konotatif sinis, bahkan makian dan kemarahan. Seperti cebong, kampret, kadrun, dan sekarang gemoy, sorry ye, omon-omon, dll.
Bahkan juga istilah pelacur sekarang diperkaya dengan ayam kampus, bispak, bisyar, cabe-cabean, kimcil, perek, ciblek dll. Lagu-lagu anak anak pun ada yang tanpa sadar membentuk karakter kasar dan main serobot. Seperti: si kancil anak nakal suka mencuri timun ayo lekas dipukul jangan diberi ampun. Kemudian lagu Naik Kereta Api, yang boleh naik dengan percuma alias gratisan.
Melihat dinamika bahasa kita, mungkinkah sesungguhnya kita harus mawas diri, apakah kita sesungguhnya adalah bangsa yang beradab? Fenomena anarkhi, amuk, amarah, vandalisme dan mesum yang terjadi dimana-mana, dikaitkan dengan dinamika kosakata dan bahasa, apakah sesungguhnya bangsa kita sedang menuju degradasi moral?
Mungkin saya salah duga, tetapi ini saya sekedar mencoba untuk merefleksikan. Salam.
*Budayawan, tinggal di Yogyakarta



