Revrisond Baswir: Keadilan Sosial Tak Bisa Terwujud Jika Hanya Bersandar Pada Demokrasi Politik

Kalau kita coba pahami urutan antara satu sila dengan sila lain dalam Pancasila, bahwa bangsa ini akan mewujudkan satu keadilan sosial. Itulah jawaban yang sebenarnya dari semua permasalahan kita sekarang. Karena memang para pendiri bangsa kita akan menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial. Cuma ada metode dan caranya, yakni pada sila ke empat. Jadi keadilan sosial itu bukan konsep yang statis tetapi suatu konsep yang dinamis.

Kata kuncinya adalah kerakyatan yang artinya kedaulatan di tangan rakyat. Jadi konsep keadilan sosial yang dinamis itu tergantung dari daulat rakyat yang terus-menerus bernegosiasi, berdebat, bertukar pikiran dan berinteraksi untuk mendapatkan gambaran mengenai bagaimana keadilan sosial itu. Para pendiri bangsa sering memberi ilustrasi masyarakat berkeadilan sosial itu misalnya antara kaum pemilik modal dengan kaum pekerja. Apakah para pekerja itu dieksploitasi atau tidak. Kalau pekerja dieksploitasi berarti masyarakat kita belum mewujudkan keadilan sosial. Jadi pertanyaan-pertanyaan besar yang dihadapi bangsa ini bukan hanya dijelaskan tetapi juga sudah dituntun metodenya.

Paham kerakyatan dan demokrasi kita itu berbeda dengan paham demokrasi Prancis. Kita tidak menganut demokrasi liberal. Kita menganut sosio demokrasi, yait suatu paham demokrasi yang memiliki dua unsur, yakni demokrasi politikdan demokrasi ekonomi. Jadi kalau dikaitkan dengan sila kelima Pancasila, keadilan sosial tidak mungkin diwujudkan jika hanya bersandar pada demokrasi politik saja. Justru demokrasi ekonomi menjadi fondamen demokrasi politik. Kalau ekonominya sudah tidak demokratis, sudahlah tidak mengharap macam-macam dengan demokrasi politik. Itulah yang terjadi hari-hari ini. Demokrasi ekonomi yang berkeadilan itu yang memungkinkan terwujudnya demokrasi politik yang substantif.

Sebagai gambaran betapa kita sangat mementingkan pertumbuhan. Semua data resmi kalau berbicara ekonomi pasti yang disampaikan soal pertumbuhan. Sebagai ilustrasi, Ngarsa Dalem sudah berbicara, orang Jakarta membeli tanah di Yogyakarta tidak pakai menawar. Bisa dicek, yang mempunyai hotel dan cafe di Yogyakara itu siapa? Tak aneh harga tanah di Yogyakarta lebih mahal dibandingkan di Jakarta. Tak aneh, indeks gini ratio Yogyakarta sangat tinggi. Padahal indeks itu hanya berbicara mengenai pengeluaran, bukan pendapatan apalagi kekayaan. Itulah kenapa gaya hidup mahasiswa di Bantul menjadi hedonis. Fenomena yang kemudian muncul, penjol lebih mengerikan dibandingkan narkotika sehingga pengeluarannya jauh di atas rata-rata penduduk Bantul.

Pertanyaannya, kalau Yogyakarta dimasuki investasi dari luar yang tumbuh cukup tinggi, bagaimana tingkat konsentrasi pengusaan kekayaan di DIY? Sebagai gambaran nasional, 1% penduduk terkaya diIndonesia menguasai 45% kekayaan nasional. 10% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 77% perekonomian kita. Tingkat kekayaan di DIY itu termasuk yang tinggi padahal Indonesia itu menempati urutan nomor tiga di dunia setelah Rusia dan Thailand. Oleh karena itu, alangkah baiknya keistimewaan Yogyakarta itu difokuskan kepada bagaimana menjadikan DIY sebagai provinsi paling depan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Proklamasikan DIY sebagai Provinsi Koperasi, misalnya.

Kalau dirinci dalam konstitusi kita, sudah ditulis secara mendetail. Hanya kita saja yang tidak bisa membacanya secara konstekstual dalam persoalan kebangsaan. Salah satu agenda strategis dalam mewujudkan keadilan sosial secara ekonomi adalah mengembangkan koperasi. BUMN, BUMD dan Bumdes mestinya menjadi pemain penting dalam perekonomian nasional. Kalau bicara transportasi online kenapa bukan Damri? Kenapa pinjol dibiarkan diizinkan beroperasi sedang kita mempunyai BUMN bank yang besar? Ini liberalisasi yang berlebihan termasuk di sektor keuangan. Termasuk, negara semestinya hadir dalam pemberdayaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.

Yang harus dipahami dalam konteks keistimewaan, asas koperasi itu berasal dari Taman Siswa. Yang menggambarkan guru dan dan murid yang tinggal dan belajar padanya. Ekonomi Indonesia versi UUD 1945 bukan ekonomi yang basisnya material tetapi hubungan guru-murid yang membicarakan pengetahuan (knowledge based economy). Kalau ini dipahami, yang perlu dipahami dalam konsteks kekinian adalah tingkatkan partisipasi masyarakat. Berikutnya, laksanakan desentralisasi ekonomi dan sistem penganggaran partisipatif sampai tingkat desa. Selain itu, dorong perkembangan badan-badan usaha yang bersifat kolektif (Koperasi, BUMN, BUMD, Bumdes).

Kita berharap pertumbuhan ekonomi di DIY itu tidak semata-mata dipicu oleh dana yang datang dari luar. Sehingga kepemilikn rakyat DIY terhadap pertumbuhan itu menjadi lebih besar. Tetapi syaratnya, di sektor publik mereka harus terlibat dalam sistem penganggaran partisipatif. Di sektor privat dikembangkan usaha-usaha yang sifatnya kolektif. Dengan begitu tingkat konsentrasi kekayaan bisa diturunkan. Inilah strategi meminimalisir konflik, baik antarkelas sosial maupun antar wilayah.

*Pakar Ekonomi Kerakyatan
Disarikan dari ceramah yang disampaikan dalam Raker Pokja Ketahanan Ekonomi Badan Kesbangpol DIY (15 Februari 2024)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co