Oleh: Wahjudi Djaja
Agak menggelitik ajakan Bupati Gunung Kidul saat temu warga di Ponjong (24/11/2023) agar warga mengurangi kebiasaan nyumbang demi bisa membiayai sekolah. Harapannya bisa pula meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Semesta kehidupan masyarakat Jawa bersendikan patembayan, gotong royong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Masyarakat mempunyai cara dan mekanisme dalam menjaga dan mempertahankan kohesi sosial. Tradisi itu berlangsung turun-temurun sehingga membentuk karakter. Bahwa membantu liyan itu bukanlah jalan menuju kerugian atau kebangkrutan. Dalam beberapa hal, rezeki–yang didermakan–itu akan kembali dalam jumlah dan kualitas yang lebih besar.
Siklus hidup masyarakat Jawa–juga suku bangsa lain–bercirikan penuh dengan upacara. Sejak bayi dalam kandungan sampai menjadi manusia dan kemudian meninggal dunia, tak bisa lepas dari upacara. Selain dimaksudkan untuk membangun hubungan spiritual dengan Sang Akarya Jagad, upacara adalah mekanisme masyarakat untuk menghangatkan hubungan sosial satu sama lain.
Ada tradisi yang namanya “rewang”. Ini merujuk pada aktifitas individu yang datang di rumah tetangga yang mempunyai hajatan. Rewang adalah membantu kerepotan tetangga dengan cara mengerjakan apapun yang berkaitan dengan kebutuhan tuan rumah. Biasanya berdasarkan spesialisasi.
Yang pintar “adang” atau menanak nasi dengan kukusan dan dandang, akan mengerjakan hal yang sama dimanapun mereka rewang. Yang lihai meracik minuman akan mengerjakan bagian “patehan”. Sampai urusan ” asah-asah” yakni mencuci piring dan gelas, akan dikerjakan oleh orang yang memang ahli. Untuk urusan “laden” yakni melayani kebutuhan tamu, akan dikerjakan khusus oleh “sinoman” yang terdiri atas kaum muda. Lain halnya “among tamu”, akan dipilih dari masyarakat yang biasanya terpandang, suka macak dan ramah.
Nah, saat datang untuk “rewang” itu, orang selain membawa pisau, serbet atau kalau laki-laki yang mau tarub–menghias tempat hajatan–membawa sabit, juga “nyumbang”. Ada yang nyumbang dengan uang, ada pula yang berupa barang. Bisa beras, gula teh, bahan sayuran atau kelapa. Nyumbang adalah bagian dari urun atau membantu apa yang kira-kira dibutuhkan orang yang mempunyai hajat.
Aktifitas rewang dan nyumbang itu sudah menjadi karakter masyarakat Jawa di pedesaan. Apakah mereka merasa berat untuk membawa dan melakukannya? Sepengetahuan saya, tidak. Dasarnya jelas, urip mung gentenan. Hidup itu hanya bergantian. Sekarang rewang, besok orang lain yang giliran datang untuk rewang. Sekarang disumbang, besok giliran kita nyumbang. Kuatnya ikatan dan kohesi sosial itu mendorong orang untuk melakukan bahkan mengada-adakan. Beban yang mungkin muncul tak sebanding dengan sanksi sosial yang bakal diterima jika tidak datang rewang dan nyumbang.
Ada seorang pemuda desa. Dia tidak pernah keluar bermasyarakat. Teman atau tetangga punya hajatan, tidak mau datang. Suatu saat ketika dia menikah atau punya hajat, kecil kemungkinan teman atau tetangga akan datang rewang apalagi nyinom dan nyumbang. Itulah konvensi sosial, aturan tak tertulis tetapi menempel kuat dalam ingatan.
Harmoni dan kohesi sosial di pedesaan itu pelan-pelan tergerus arus modernisme. Egoisme menguat, individualisme menonjol. Orang hajatan bisa menyewa event organizer (EO) atau wedding organizer (WO). Hidup lalu mengalami perubahan, kehangatan sosial pun kian dingin dan hampa. Lalu, rewang, nyumbang dan patembayan dianggap boros, menghabiskan uang untuk sesuatu yang mubadzir. Dana yang digunakan untuk nyumbang bisa dialihkan ke biaya pendidikan anak.
Jika itu yang terjadi dan dilakukan, siapa bisa menjamin akan muncul generasi yang mempunyai empati dan kepekaan sosial yang tinggi. Jika kualitas sumber daya manusia hanya diukur dengan IQ, dan melupakan kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan geografikal, kecerdasan verbal, bisakah dibayangkan kehidupan anak pada masa depan? Kita akan kehilangan generasi.
Saat orang kota back to village, back to nature, lalu adat tradisi yang ada di masyarakat justru dianggap memberatkan, mengganggu sehingga perlu dikurangi, dimodifikasi dan dihilangkan, rasanya suram menatap Indonesia ini di masa depan.
Desa adalah sokoguru kota, pilar utama bangsa. Jika konstruk sosial yang selama ini membentengi desa dihilangkan, tahu kemana arah ini semua? Bangsa ini kehilangan akar, dan bangsa yang kehilangan akar adalah bangsa yang tidak memiliki nalar. Mudah terbawa pengaruh asing, mudah diadu-domba dan mudah dijajah, Absurd, bukan?
Ksatrian Sendaren, 27112023



