Sate Kuda Segoro Roso, Imaji Masa Perang di Segoroyoso Pleret Bantul

Oleh: Wahjudi Djaja*

Panjenengan wiwit mandé saté niki taun pinten, Bu?
Oh, setaun sadéréngé gempa, Pak. Pun, niku pathokané.
Walah…sampun dangu ngaten?
Lha nggih ngétén niki. Rumiyin awrat Pak, alhamdulillah sapuniko sampun bikak cabang ten Pleret.

Sambil menghidangkan pesanan kami, saya sempatkan bertanya kepada ibu-ibu berkebaya separoh usia yang melayani. Grapyak, semanak, cekatan khas wanita Jawa pinggiran. Cukup lama kami menunggu, sekedar membandingkan saat menunggu hidangan sejenis di warung lain. Bukan tanpa alasan. Memang harus sabar karena pesanan kami adalah sate kuda!

Warung sate Segoro Roso (Foto: Wahjudi Djaja)

Pathokané, yang menjadi patokan sebagai calling memory. Wéh, élok juga Ibu ini. Meletakkan sejarah keluarga berdasar peristiwa besar. Gempa 2006! Ini masih seperti orang zaman dulu. Saat ditanya kapan lahirnya, hanya didasarkan pada sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Tanpa catatan apalagi dokumen. Bulik saya di Bayat–saat silaturahmi lebaran–pernah saya tanya, kapan lahirnya. Dijawab, pokoké pas klés (Clash) Londo. Ini tentu merujuk Agresi Belanda 19 Desember 1948. Dan itu banyak ditemukan pada orang-orang desa zaman dulu. Urusan raport, ijazah atau besluit kadang berdasarkan ingatan pada peristiwa besar.

Lalu ini, penjual sate kuda di Segoroyoso Pleret Bantul. Menghidangkan sate kuda, menghadirkan Jawa yang lama kukenal. Ada rasa penasaran. Serat daging kuda beda dengan kambing. Maka menunggu lama adalah kenikmatan tersendiri. Imaji bisa kesana kemari. Sambil menunggu sate selesai dibakar, kami menikmati iso babat kuda yang dimasak bacem. Dibungkusi dalam kemasan plastik, tinggal ambil dan makan. Nikmatnya, minta ampun. Empuk digigit, bumbunya–orang Jawa bilang–remangsuk, masuk dan terasa sampai ke dalam potongan daging yang berasal dari usus dan kulit.

Pak Ishadi Yazid dan teman-teman BPPS (Foto: Fachry Herkusuma)

Hari yang membahagiakan bagi saya. Bersama teman-teman Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), saya diajak Pak Ishadi Yazid, Kepala Dinas Pariwisata Sleman, menikmati kuliner khas Pleret Bantul DIY ini. Leluhur dan simbah beliau memang berasal dari kawasan ini. Dan rumah beliau memang tak jauh dari warung sate kuda Segoro Roso di Segoroyoso Pleret Bantul.

Lihat sekilas, agak kaget. Kehitaman dan tak terlalu menebarkan aroma khas seperti sate kambing. Jangan-jangan ini gosong, batinku sambil mengamati empat tusuk sate kuda di hadapanku. Namun, setelah masuk lidah dan kukunyah, wéh….nyusss. Enak, gurih, sedap dan tidak alot digigit. Dilengkapi potongan lombok dan brambang serta sambal kacang putih, sate kuda ini memang istimewa di lidah.

Sate kuda (Foto: Fachry Herkusuma)

Kami memilih sate kuda dan lonthong, bukan nasi sekedar mencoba sensasi yang lain. Jangan bayangkan seperti sate ayam dengan potongan lonthong. Lonthong ini dikasih kuah dengan tempe dan beberapa potong daging kuda. Pedasnya pas. Kami melahapnya penuh selera, sampai kuahnya habis. Pertanda bahwa ukuran dan bumbunya pas di lidah. Badan terasa hangat, perut kenyang dan berkeringat. Apalagi yang bisa kami kerjakan selain ngobrol tentang Segoroyoso, Pleret dan Mataram?

Entah siapa yang membisiki Mudjinem–pemilik warung sate kuda ini–sehingga berani membuka warung sate kuda. Mungkin dia hanya melihat dusunnya di Jembangan Segoroyoso Pleret Bantul ini dikenal sebagai sentra pemotongan sapi dan kuda. Tapi mengeksplorasi ide lalu berani mengambil pilihan sate kuda yang nganéh-anéhi? Tajam betul naluri bisnisnya.

Segoroyoso ini ibarat desa yang tak pernah tidur. Banyak aktivitas dilakukan warga untuk menyambung hidup. Lama dikenal sebagai pusat pemotongan hewan ternak. Mulai jam 22.00 warga sudah memotong sapi, kambing dan kuda. Mereka bekerja sampai pagi, memasok daging ke berbagai pasar di Yogyakarta. Ada 20 tempat penyembelihan sapi, kuda, kambing dan ayam. Namun, keberanian melangkah dan membidik peluang yang dilakukan Mudjinem berbuah berkah. Warungnya dikenal luas, pelanggan pun berdatangan dari berbagai kota.

Situs Kraton Pleret (Foto: Wahjudi Djaja)

Segoroyoso (segoro artinya laut, yoso atau yasan artinya buatan) sebuah nama yang segera membawa imaji kita terbang ke masa silam. Ini adalah situs penting saat kita berbicara Kerajaan Mataram. Setelah didirikan Panembahan Senopati di Kotagede (1586-1613), Kerajaan Mataram pindah dan pernah beribu kota di kawasan ini, yakni di Kerta (1613–1645) dan Plered (1646–1680). Jarak keduanya tak terlalu jauh. Terkait Segoroyoso, merupakan laut buatan dengan membendung Kali Opak dari sisi selatan dan timur. Pemilihan tempat yang sebetulnya sangat tepat, ada imaji Amangkurat I untuk menjadikan Mataram sebagai kerajaan maritim yang tangguh. Selain sebagai istana dan benteng pertahanan, Segoroyoso digunakan untuk arena latihan perang para prajurit.

Bukan hal yang aneh jika kawasan ini bagian bawahnya berpasir dan banyak ditemukan jejak bangunan bersejarah. Perlu waktu tersendiri untuk bercerita kenapa Amangkurat I, penguasa ke empat Mataram, gagal menjaga kedaulatan dan kebesaran kerajaan. Yang perlu dicatat, oleh pemerintah Kalurahan Segoroyoso, tanggal 7 Juli 1659 yakni saat Susuhunan Hamangkurat Agung atau Amangkurat I meresmikan pembangunan istana di atas air (Hastana Segarayasa artinya Istana di atas danau buatan) diresmikan sebagai Hari Jadi Segoroyoso.

Monumen Segoroyoso (Foto: Dok. Disbud DIY)

Desa ini memang kaya dengan narasi sejarah. Warga Segoroyoso seolah mewarisi jiwa kejuangan dari leluhur dan tokoh-tokoh besar yang pernah tinggal di wilayahnya. Laskar Segoroyoso amat dikenal pada masa itu. Pada saat revolusi perang kemerdekaan 1948-1949, desa ini menjadi basis pertahanan Wehrkreise III dibawah kendali Letkol Suharto. Ada sebuah rumah tua dengan prasasti berdiri di depannya dengan tulisan:
PRASASTI SEGOROYOSO
TAHUN 1948-1949
DI TEMPAT INI KOMANDAN WEHRKREISE III LETKOL SUHARTO MENYIAPKAN SECARA LAHIR BATHIN SEBELUM MENGKOMANDOKAN SERANGAN UMUM 1 MARET 1949.

Monumen Segoroyoso ini terletak di Pedukuhan Segoroyoso I, Segoroyoso, Pleret atau di sebelah barat Balai Kalurahan Segoroyoso. Anda boleh mampir setelah menikmati sate kuda sambil mengenang dan membayangkan bagaimana warga Segoroyoso bersama Letkol Suharto dan pasukannya ambil bagian dalam perang mempertahankan kemerdekaan.

Begitulah. Narasi dan imaji sejarah melingkar-lingkar di dalam benak setelah menikmati sate kuda Segoro Roso. Menikmati kuliner memang sering menjadi bagian dari perjalanan wisata. Namun jika menikmati sate kuda ini, imaji kita akan terbang bersama kuda sembrani. Menjelajahi sejarah kawasan yang pernah rusak karena gempa bumi dahsyat 2006 ini. Warung ini tutup jam 17.00 untuk gantian di cabanf warung sate kuda yang di Pleret. Saat kami datang jam 16.30 mereka tak bisa menolak rombongan keluarga yang beriringan datangnya dengan kami.

Pada 7 Juli 2024 Kalurahan Segoroyoso berusia 365 tahun. Sebuah desa dengan potensi dan narasi yang amat lengkap. Semoga menjadi salah satu pilar utama keistimewaan Yogyakarta.

*Budayawan, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

 


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co