Sejak Lahir Manusia Sudah Divonis Mati

Oleh: Achmad Charris Zubair*

Beberapa hari ini saya mendengar berita tentang meninggalnya dua orang yang saya kenal, Alois Agus Nugroho dan Yudhistira Ardi Nugraha. Bahkan nyaris setiap hari kita akan dan sudah mendengar berita kematian. Baik dari orang yang kita kenal, maupun yang tidak kita kenal.

Kematian sesungguhnya merupakan realitas kehidupan. Tapi setiap mendengar atau mengalami ditinggal mati, apalagi orang yang kita kenal, dekat dan bahkan kita sayangi, akan meninggalkan jejak keterkejutan, tidak percaya.

Apalagi kalau yang meninggal adalah orang yang amat dekat dan kita sayangi, ada sayatan halus di hati yang menggerakkan duka cita kesedihan. Kita juga sadar bahwa satu ketika, sang maut akan menjemput kita, kelak. Salah satu misteri besar dalam hidup adalah realitas kematian.

Eksistensialisme bahkan menyebut bahwa kematian adalah absurditas paling besar dalam hidup manusia.

Semua agama memberikan jawaban “bijak” atas realitas itu sebagai titik penting untuk melangkah dari titik kefanaan menuju keabadian. Manusia dihadapkan pada pertanyaan dasar: Kematian itu finalitas ataukah titik “antara”?

Pada dasarnya semesta itu dinamik, berubah terus menerus. Namun juga menampilkan hal yang tetap.

Perubahan, dinamika, gerakan di semesta seringkali harus dibarengi dengan kerusakan atau kematian taraf substansi tertentu untuk berproses menuju taraf kualitas realitas yang lebih sempurna.

Sayuran, buah, bahkan binatang akan mati misalnya dengan cara dimakan oleh manusia, secara dinamis berproses menjadi substansi realitas yang lebih tinggi yakni jiwa manusia. Sementara satu saat kelak manusia yang menyantap akan mati juga dan mengikuti hukum alam untuk menuju kualitas yang lebih sempurna.

Semesta berproses secara kreatif dengan meletakkan peran dan fungsi manusia sebagai titik temu antara makro kosmos dengan mikro kosmos. Karena harus diakui puncak kualitas kemakhlukan berada di tangan manusia yang berilmu dan berkesadaran moral spiritual.

Dengan demikian kematian sesungguhnya bukan finalitas, melainkan tahap menuju kualitas yang lebih transenden dan “abadi”.

Maka berdasarkan hal tersebut di atas, semua yang ada di semesta ini, mulai dari jasad renik, sel, vegetasi, hewan, manusia, begitu memulai kehidupannya sudah divonis hukuman mati, yang eksekusinya kelak di masa depan yang tak bisa diperkirakan kapan terjadinya.

Semesta berproses dengan hukum itu, lahir, hidup, laku, mati, terus lahir lagi sebagai realitas dengan kualitas lebih tinggi. Nah, dalam dinamika proses itu seringkali ada penyimpangan yang membuat proses kosmos dalam titik tertentu dianggap “khaos”. Yaitu ketika tatanan hukum alam terganggu “ulah” individu makhluk yang membuat khaos semesta yang lebih luas.

Manusia sebagai pemegang peran yang mempertemukan makro dengan mikro kosmos melakukan keputusan dalam rangka menjaga keteraturan semesta.

Bakteri penyakit, hama, tumbuhan pengganggu, manusia jahat, secara individual, bisa dimatikan. Tapi tentu memutuskan kematian makhluk itu harus didasarkan alasan yang memadai dalam rangka menjaga kosmos, hanya mematikan individu yang merugikan dan bukan mematikan spesies, dan tentu demi keteraturan ekosistem kehidupan tetap terjaga.

Bisa juga kalau alasan tepat, maka vonis hukuman mati untuk para penjahat berat, yang biasanya diawali dan disebabkan oleh perilaku dengan kategori kejahatan besar yang menyangkut membahayakan hidup dan kehidupan manusia lain, merupakan bagian dari cara semesta untuk menjadikan kualitas manusia lebih sempurna. Dalam skala lebih luas membuat kehidupan dan kemanusiaan akan lebih menjunjung moral dan spritualitas.

Setiap individu “penjahat” yang divonis mati oleh pengadilan manusia, masih diberi kesempatan untuk banding sampai dengan grasi dan waktu tertentu untuk menyesal dan berkelakuan baik.

Sebenarnya kita semua yang hidup normal pun, sejak lahir sudah divonis mati dan tinggal menunggu eksekusinya. Semoga sisa waktu kita bisa gunakan untuk menyesal atau “taubatan nasuha” yang dibuktikan dengan kelakuan baik kita. Dengan harapan kelak kita bisa hidup di keabadian dalam kualitas yang lebih sempurna dan generasi yang hidup sesudah kita lebih baik.

Dalam skala ruang dan waktu yang lebih luas, dengan kelakuan baik generasi sebelumnya, semesta tetap terjaga secara kosmik.

*Budayawan Kotagede


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co