Oleh: Aoisora Nararya Ariyudha, Leo Acharya Bhamakerti dan Liam Camillo Matahatikoe**
Latar Belakang Agresi Militer Belanda II
Semenjak Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, berbagai upaya dalam bentuk diplomasi maupun militer dilakukan Belanda, untuk kembali menjajah Indonesia. Belanda tidak bersedia mengakui kedaulatan Indonesia. Segala usaha dikerahkan Belanda untuk mencapai tujuannya.
Maka dari itu, dilaksanakan Agresi Militer Belanda I yang berlangsung dari tanggal 21 Juli hingga 4 Agustus 1947. Agresi Militer Belanda I bertujuan untuk menduduki seluruh wilayah Jawa Barat, memperluas daerah yang telah didudukinya di sekitar kota-kota besar di Jawa, serta kawasan perkebunan dan minyak di Sumatra. Hal ini ditujukan demi mengendalikan daerah-daerah strategis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga upaya menguasai Indonesia dapat dicapai dengan mudah. (Ricklefs, 2009).
Jenderal Van Mook dan Jenderal Spoor, selaku pemimpin Agresi Militer Belanda I, beberapa kali mengirim telegram kepada Menteri Urusan Daerah Seberang Lautan, Jonkman, meminta izin untuk melanjutkan aksi militer hingga Yogyakarta yang pada saat itu merupakan ibu kota RI, meskipun konsekuensinya berat. Akan tetapi, Menteri Jonkman menolak permintaan tersebut karena pasukan Belanda tidak cukup kuat untuk operasi sebesar itu , serta mengingat perdebatan di Dewan Keamanan PBB yang dapat merugikan pihak mereka (Andang, 2013). Ada pula kedudukan Amerika yang secara perlahan menjadi lebih simpatik terhadap perjuangan RI. Amerika juga menggunakan penarikan bantuan Marshall Plan sebagai dalih agar Belanda memberi kedaulatan, atau setidaknya tidak melaksanakan agresi terhadap Republik Indonesia (RI) (Koh, 2022), mempersulit upayanya melanjutkan aksi militer.
Selanjutnya, pada tanggal 26 Agustus 1947 dibentuklah Komisi Tiga Negara (KTN) oleh PBB. Komisi ini bertujuan untuk membantu negosiasi antara Indonesia dan Belanda dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata yang baru. Komisi Tiga Negara (KTN) berupaya agar perselisihan antara Indonesia dan Belanda diselesaikan secara damai. Gencatan senjata segera disepakati oleh kedua belah pihak dan dilanjutkan dengan negosiasi. Salah satu masalah yang sulit diselesaikan adalah keberadaan Garis Van Mook (Van Mook Lijn) yang merugikan Bangsa Indonesia. Pada akhirnya setelah melakukan pendekatan-pendekatan yang lama dari kedua belah pihak, Perjanjian Renville dapat ditandatangani pada tanggal 19 Januari 1948. Bagi pihak RI, Perjanjian Renville bisa dikatakan merugikan karena wilayah kekuasaannya semakin sempit.
Adanya Perjanjian Renville, mengharuskan TNI untuk melakukan pemindahan pasukan secara besar-besaran. Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan dari kalangan militer. Keterpojokan RI menyebabkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, terpaksa menerima syarat-syarat yang memberatkan tersebut. Akhirnya Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dari posisinya sebagai Perdana Menteri dan segera digantikan dengan Hatta oleh Presiden Soekarno (Andang, 2013).
Selama pemerintahan Hatta, golongan kiri (komunis) tidak mendapat perhatian yang menimbulkan kekecewaan. Alhasil Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tanggal 18 September 1948, terjadi sebagai reaksi dari kekecewaan tersebut. Pekerjaan RI bertambah, namun TNI berhasil menumpas pasukan pemberontak dan menangkap kurang lebih 350.000 tawanan (Eryono, 1982).

Keberhasilan TNI dalam menumpas pemberontakan PKI dengan mandiri mendapatkan simpati dari dunia internasional. Amerika Serikat menjadi semakin berpihak kepada RI dikarenakan keberhasilan menumpas pemberontakan komunis tersebut. Secara politis kedudukan Belanda semakin terdesak karena berangsur-angsur RI mendapat dukungan di PBB. Hal ini mengakibatkan akhir kepemimpinan Jenderal Van Mook dan Jenderal Spoor, yang digantikan dengan Dr. Beel (Tjokropranolo, 1992).
Perpindahan ibu kota RI ke Yogyakarta mempersulit Belanda dalam mengeksekusi agresi militernya yang kedua. Pada tanggal 17 Desember 1948 Dr. Beel menugaskan ketua delegasi Belanda pada saat itu, Elink Schuurman, untuk mengabarkan surat kepada ketua KTN, Cochran, yang harus dijawab Hatta paling lambat hari Sabtu tanggal 18 Desember 1948. Batas waktu menjawab yang singkat, membuat seolah-olah surat tersebut seperti ultimatum. Surat tersebut memuat syarat-syarat yang sangat menekan RI , sehingga mengakibatkan KTN sangat marah. Cochran atas nama semua anggota KTN meminta dengan tandas pada pemerintah Belanda untuk memulai lagi perundingan. Untuk itu, Belanda menunggu jawaban dari pihak RI akan tetapi jawaban yang ditunggu tidak kunjung datang.
Persiapan Agresi Militer Belanda II
Situasi ketegangan antara pihak RI dan Belanda dapat terlihat dimana pihak Belanda banyak melakukan tuduhan-tuduhan, yang belum pasti kebenarannya, kepada pihak RI. RI juga dituduh melanggar kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua pihak dan tidak sepakat untuk melakukan gencatan senjata . Belanda secara sepihak juga memutuskan tidak akan berunding lagi dengan pihak RI, terhitung mulai sejak tanggal 12 Desember 1948 .
Jenderal Sudirman yang tidak ingin lengah, kemudian mengadakan latihan perang pada tanggal 19 Desember 1948 untuk membuktikan bahwa TNI siap mempertahankan ibukota RI. Para politisi menganggap bahwa tindakan Jenderal Sudirman terlalu berlebihan. Jenderal Sudirman menggagas sebuah strategi yang digunakan untuk melawan Belanda yaitu Wehrkreise. Wehrkreise sendiri berasal dari bahasa Jerman yaitu Wehr yang artinya perlawanan dan Kreise artinya lingkaran atau lingkungan. Strategi ini sebenarnya sudah pernah digunakan untuk menghadapi Belanda pada saat terjadi Agresi Militer I (Widjajanto, 2005).
Setelah tidak mendapat tanggapan dari pihak RI, Pemerintah Belanda memutuskan untuk melancarkan aksi militer. Dinas rahasia Indonesia tidak dapat menangkap rencana ini, dikarenakan instansi-instansi yang bertugas sedang mengadakan penyelidikan hubungan dengan negara-negara asing. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyerang Indonesia. Pada tanggal 18 Desember 1948 sekitar pukul 23.30, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Beel berpidato di radio bahwa Belanda tidak lagi terikat pada Perjanjian Renville. Sebelumnya pun, Belanda sudah menyatakan bahwa tidak ada perlunya mengadakan perundingan dengan Indonesia. Untuk menjaga kerahasiaan operasi, kesepakatan gencatan senjata dibatalkan (Nasution, 1979). Pernyataan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian yang telah disepakati itu, membebaskan adanya pelanggaran, termasuk mengangkat senjata terhadap Indonesia dan menduduki ibukota yang saat itu berada di Yogyakarta (Triwahyono, 2011). Tindakan ini semakin membuat KTN kecewa terhadap pemerintah Belanda. Sekitar tengah malam, tepatnya pada 19 Desember 1948, Belanda memutus semua hubungan telegram dengan Jakarta, yang berarti koneksi antara Yogyakarta dan Jakarta diputus (Andang, 2013).
Pemutusan hubungan telegram membuat Cochran yang berada di Jakarta tidak dapat menghubungi anggota KTN yang berada di Kaliurang. Tidak adanya kabar dari Yogyakarta membuat Cochran mengirim telegram kepada Dewan Keamanan PBB mengenai mulainya peperangan antara pihak RI dan Belanda.
Malam hari itu, Angkatan Udara RI bekerja hingga jam 2 pagi untuk mempersiapkan pemberangkatan perwira-perwira RI untuk dikirim ke Sumatra. Maka dari itu, pasukan Belanda dapat dengan mudah menguasai PU Maguwo dan kemudian bergerak ke arah kota. Tentara RI berusaha sekuat tenaga untuk menahan pergerakan pasukan Belanda menuju pusat kota Yogyakarta. Di sisi lain, Presiden Soekarno segera memanggil para menteri untuk mengadakan rapat kabinet darurat. Hatta yang saat itu sedang bermalam di Kaliurang karena kurang sehat, belum bisa hadir. Setelah mengetahui tentang serangan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara, langsung pergi ke Istana Negara (Gedung Agung) untuk menemui Presiden Soekarno.
Serangan Terhadap Pangkalan Udara Maguwo
Pada 19 Desember 1948, operasi militer Belanda dimulai. Sekitar pukul 05.15, terdengar suara pesawat-pesawat melintas di atas Lapangan Terbang Maguwo. Masyarakat Yogyakarta awalnya mengira pesawat-pesawat tersebut milik RI yang sedang melakukan latihan perang (karena memang hari Minggu dan jam tersebut merupakan hari latihan perang), seperti yang diumumkan oleh Jenderal Sudirman sehari sebelumnya. Akan tetapi, suara deru pesawat terbang itu terdengar semakin bising karena banyak jumlahnya (Kementerian Penerangan, 1953). Serangan udara menyusul pada waktu sekitar 05.30, menggunakan pesawat Bomber (Mitchell Bomber), P-51, dan Spitfire. Serangan tersebut bertujuan untuk melunakkan pertahanan RI di sekitar PU Maguwo. Menurut laporan dari telegram tentara Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, sekitar pukul 06.45 pasukan KST (Korps Speciale Troepen) melakukan pendaratan di Maguwo. Kemudian sekitar pukul 08.10 pesawat logistik pertama dan bantuan pasukan darat yang berasal dari Semarang tiba di Maguwo di bawah komandan Kolonel Van Langen (Tjondronegoro, 1982). Pasukan Belanda sekarang berjumlah kurang lebih 900 personil. Kolonel Van Langen mengadakan pengarahan operasi kepada beberapa pasukan yang sudah terkumpul. Sekitar pukul 09.00, pengarahan berakhir dan dilanjut dengan pengamanan wilayah di kawasan sekeliling PU Maguwo.
Sekitar pukul 13.15, terjadi penyerangan terhadap kontingen pasukan Belanda yang berada di kawasan Maguwo oleh 15 personil RI. Serangan pasukan RI tersebut dengan mudah dihancurkan oleh Belanda. Sekitar pukul 14.00, logistik operasional Belanda sudah tiba semua. Pasukan utama Belanda mulai bergerak untuk mengamankan wilayah vital di Yogyakarta. Sekitar pukul 16.30, pasukan utama Belanda berhasil mengamankan sebagian besar wilayah vital di Yogyakarta. Sekitar pukul 17.00, pasukan Belanda menyelesaikan operasi dengan penangkapan seluruh pimpinan RI yang berada di Yogyakarta; Soekarno, Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, dan setengah kabinet RI.
Pada hari yang sama, laporan telegram tentara Belanda melaporkan adanya banyak kematian di sekitar Maguwo dengan 20 pasukan Belanda mengalami luka-luka. Pasukan Belanda berhasil mengamankan persediaan senapan dan amunisi pasukan RI. Terdapat laporan tambahan bahwa operasi telah diperhatikan oleh dua pengamat militer (military observers) dan beberapa koresponden dari Amerika. Hal tersebut membuat detail mengenai operasi militer Belanda termuat dalam surat kabar di Amerika, di mana operasi Belanda diterima secara negatif karena telah melanggar Perjanjian Renville.
Berdasarkan keterangan Kahin (2003), kegagalan awal RI dalam menangani serangan pasukan Belanda disebabkan oleh keyakinan bahwa Belanda tidak akan melaksanakan operasi militer dengan adanya pengawasan dari PBB yang didasari oleh Perjanjian Renville. Hal tersebut membuat kewaspadaan pimpinan negara dan militer RI rendah.
Dengan kondisi Pemerintah RI di Yogyakarta yang sudah ditangkap oleh Belanda, pasukan RI yang berada di Yogyakarta bergegas mengevakuasi posisi mereka guna mempersiapkan peperangan secara gerilya. Pemerintah Belanda mengkampanyekan propaganda akan antusiasme masyarakat dalam menerima kehadiran pasukan Belanda. Belanda memberlakukan larangan pers besar-besaran demi menyembunyikan fakta lapangan agar tidak mendapat protes lebih lanjut dari dunia internasional.
Peristiwa Sambilegi
Pada saat Belanda mulai menerjunkan pasukan KST di Maguwo, diberlakukannya pengeboman terhadap instalasi senjata anti pesawat. Pengeboman tersebut, menyebabkan pasukan RI yang bertempatkan di area PU Maguwo mendapati banyak korban dan mundur secara terpencar. Beberapa dari mereka berhasil selamat dan melarikan diri dari kawasan PU Maguwo (Tjondronegoro, 1982). Hal tersebut dilakukan Belanda demi kelancaran operasi ini. Sehingga saat pasukan KST melakukan pendaratan, para pasukan hanya menghadapi perlawanan yang ringan.
Pengamanan daerah di sekitar PU Maguwo merupakan prioritas utama bagi pasukan KST. Dikarenakan PU Maguwo merupakan satu-satunya jalan masuk dan keluar bagi pasukan Belanda. Disebutkan dalam buku ‘Tempat-tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa Kabupaten Sleman’ (Dinas Sosial Kabupaten Sleman, 2000) mengenai pertempuran di Sambilegi, terdapat kontingen pasukan Belanda (KST) yang bergerak ke utara dari Maguwo menuju daerah Sambilegi, tetapi jumlah pasukan hanya sedikit dan bersenjata ringan.
Hasil pengarahan yang berakhir sekitar pukul 09.00, memerintahkan beberapa pasukan Belanda untuk melakukan pengamanan wilayah di kawasan luar PU Maguwo. Asumsi penulis berdasarkan beberapa kejadian yang terpapar di atas, menyimpulkan bahwa para pasukan Belanda yang menerima perintah tersebut menyebar ke beberapa kawasan luar PU Maguwo, salah satunya adalah Desa Sambilegi yang terletak di sebelah utara PU Maguwo.
Untuk menghambat pergerakan kontingen Belanda, para gerilyawan dan beberapa pasukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mengadakan pencegatan terhadap kontingen Belanda tersebut. Sayangnya, usaha pasukan RI dalam menghambat laju kontingen Belanda mengakibatkan 10 personil RI gugur; Bakri Laskar, Parto Surijo, Arjo Sentono, Harjo Sentono, Karso Pawiro, Kasan Pawiro, Sadinomo, Karijo Loso, Basiro, Sastrohariono. Saksi yang masih hidup dalam kejadian ini, yakni Pademo Suyoto (Dinas Sosial Kabupaten Sleman, 2000). Kontingen utama Belanda, dengan bantuan pasukan darat dari Semarang bergegas menuju wilayah Yogyakarta. Selebihnya pasukan Belanda hanya mendapatkan perlawanan ringan dari pasukan Indonesia.
Walaupun perjuangan rakyat Sambilegi terlihat sebagai aksi yang menyia-nyiakan nyawa dan tidak signifikan dalam catatan sejarah. Tetapi, peristiwa tersebut menunjukan seberapa ekstrem langkah yang diambil oleh rakyat dalam mempertahankan kedaulatan RI. Melalui peristiwa ini mentalitas akan slogan “sekali merdeka tetap merdeka” benar-benar diwujudkan oleh rakyat Sambilegi yang ikut serta dan gugur dalam mempertahankan kedaulatan negara tercinta.
Zaman Modern
Di zaman modern ini, untuk memperingati peristiwa perjuangan tersebut, telah dibangun monumen oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1977/1978. Berdasarkan data daftar nama-nama monumen/tetenger di Kabupaten Sleman, monumen tersebut dinamakan “Monumen Sambilegi” (Dinas Sosial Kabupaten Sleman, 2000). Monumen tersebut tepatnya terletak di, Jl. Ring Road Utara, Maguwo, Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selain itu, dikutip dari artikel Yogyapos.com, pada perayaan Hari Pahlawan Nasional – tepatnya pada tanggal 10 November 2022, Pukul 19.30 WIB hingga selesai – masyarakat Desa Sambilegi memperingati Hari Pahlawan pada tahun 2022 tersebut dengan cara yang unik. Sekitar seratus pemuda Desa Sambilegi terlibat dalam acara ini. Untuk memeriahkan acara, mereka dibebaskan untuk mengenakan pakaian apapun; baju putih/hitam, peci/blangkon, dan sebagian membawa bambu runcing yang terikat dengan bendera merah putih.
Di awal acara, diadakan pembacaan teks Proklamasi, Pancasila, ikrar Sumpah Pemuda, dan Pembukaan UUD 1945. Diakhiri dengan renungan yang akan disampaikan Ketua Ranting Pepabri (Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri) Maguwoharjo dan doa penutup. Selanjutnya, pada penghujung acara, dilakukannya doa bersama untuk mendoakan para pahlawan bangsa yang telah gugur dan mendoakan kemajuan bangsa Indonesia di masa-masa mendatang untuk menjadi negara yang adil, makmur dan sejahtera.
“Setelah acara renungan selesai, pemuda akan napak tilas berkeliling kampung dengan jalan kaki sambil membawa bambu runcing yang telah diikat dengan bendera merah putih. Sebagian akan menaiki sepeda onthel sambil membunyikan bel kring-kring untuk mendekatkan suasana seperti pada jaman perjuangan dahulu,” ujar Agus Triyono, Kepala Dusun Sambilegi Lor, Rabu (9/11/2022).
Catatan:
*Tulisan ini merupakan kerjasama mabur.co dengan Dinas Kebudayaan Sleman dari Lomba Esai Penulisan Sejarah yang telah diumumkan 9 Oktober 2024. Diedit sesuai kebutuhan, catatan kaki dan daftar tidak dimasukkan.
**Siswa SMA Collese de Britto



