Oleh: Wahjudi Djaja
“Mas Landung memang beda”. Singkat ungkapan Kang Bramantyo Prijosusilo yang janjian dengan saya untuk bertemu dalam pementasan aktor kenamaan ini di Ndalem Joyokusuman pada 11 Agustus 2018. Saat itu Om Landung–begitu saya saya beliau–sedang pentas Fatamorgana. Dari Ngawi Kang Bram membawakan kopi. Dengan sedikit membuat perbandingan, saya sepakat dengan simpulan Kang Bram.
Selalu berusaha menampilkan yang terbaik, mungkin semua yang akan pentas juga akan mengatakan hal yang sama, tetapi ketekunan dan kesungguhan berproses memang memberikan hasil yang berbeda. Itu tentu terkait dengan kekayaan referensi, keluasan pengalaman, kedalaman penghayatan dan totalitas persembahan. Pernah saya lihat saat gladi resik jelang pentas di TBY, Om Landung marah pada salah satu personil yang mencoba mengganggu proses dari tepi panggung.
Saya baru lahir ketika Om Landung menjadi Juara I Lomba Deklamasi se-Yogyakarta pada 1971. Jika sekarang masih setia penuh dedikasi menggeluti seni peran menjadi sastrawan, aktor, sutradara, atau pembaca puisi dan sejenisnya, sulitkah kita menilai kualitas, karakter dan betapa berharga laku hidupnya? Sosok berdarah Batak namun laku kesehariannya sangat Jawa, sebuah potret akulturasi biologis yang kemudian menjadi bara yang tak pernah padam. Konon, tangan halus ibundanya yang membimbingnya masuk dan menyelami budaya Jawa.
Lahir dengan nama Yohanes Rusyanto Landung Laksono Simatupang pada 25 November 1951, sejak muda memang “tinakdir” menjadi bagian dari tumbuh kembang budaya sastra di Yogyakarta. Dia tetap menjadi kiblat para sastrawan, menjadi rujukan dan tentu saja pilihan. Kesediaannya membuat video pembacaan puisi di facebook, bagi saya, menjadi ajang pembelajaran yang penting. Ini tentu di luar pementasannya seperti saat mementaskan Trilogi Sepatu dan Mahkota di TBY pada 16 Juni 2012. Bersama Joko Kamto, Bambang Susiawan dan Fadjar Suharno. Sebuah pementasan berkelas, teatrikal bahkan. Mengambil kaca mata yang jatuh lalu secara spontan dijadikan bagian pementasan, sungguh elok ditonton.
Suatu hari saya dihubungi pelukis Iskandar. Diminta membantu pementasan Landung Membaca Kang Sobary di TBY pada 12 Oktober 2018. Dalam Arya Pengalasan Masuk Istana, didahului pementasan jathilan lancur dari Puncak Kleco Purwoharjo Samigaluh Kulon Progo. Sebuah kebanggaan dan kehormatan bagi kami. Para personil jathilan Kleco kebanyakan sudah tua dan pentas di TBY? Sore saya kawal dari Kleco sampai TBY tergambar kebahagiaan mereka.
Kesediaan memerankan jembatan bagi tumuh kembang seni tradisi bagi saya perlu untuk diapresiasi. Bagaimanapun Yogyakarta adalah Kota Budaya. Diperlukan upaya-upaya serupa yang dilakukan Om Landung agar terjadi kohesi sosial dan pengalaman baru. Inovasi adalah sebuah keharusan meski tanpa harus meninggalkan autentitas. Hanya dengan begitu, kebudayaan akan semakin berkembang dan memperkaya karakter Yogyakarta.
Secara kepribadian Om Landung sangat hangat. Mau membuka ruang bagi para yunior untuk sama-sama menghasilkan sesuatu yang baru. Saat menonton Pagi yang Bening di TBY, terlihat dengan jelas hal itu diberikan Om Landung. Pianis muda berbakat Bagus Mazasupa diberi kebebasan untuk membahasakan sebuah lakon yang berlatar Spanyol. Yan Jangkrik dan Laskmi Lastari bisa secara jenaka dan mengena memainkan peran yang disutradarai Om Landung.
Alumni Sastra Inggris FS UGM yang ikut membidani lahirnya Teater Gadjah Mada pada 1976 ini memang patut dijadikan teladan bagi siapa pun yang berhikmat di dunia sastra dan seni peran. Selain piawai bermain dalam berpuluh film, dia juga andalan dalam berbagai program radio. Usia memang hanyalah angka, kualitas dirilah yang akan membahasakan apakah dia tua atau muda.
Selamat ulang tahun Om Landung, semoga senantiasa sehat, semangat, penuh manfaat, aamiin
Ksatrian Sendaren, 25 November 2023



