Sepakbola dan Sikap Adil

Oleh: Imam B Prasodjo*

Semalam, 10 Oktober 2024, sambil merebahkan badan di kursi melepas lelah karena seharian sibuk mengikuti rapat, saya menonton pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2025 Zona Asia antara kesebelasan Indonesia dan Bahrain. Saya harus mengakui bahwa saya telah lama menjadi salah satu penggemar sepakbola yang di seluruh dunia, konon, jumlahnya mencapai empat milyar orang.

Saya tertarik dengan sepakbola karena olahraga ini memiliki banyak dimensi. Ada antusiasme, persaingan, emosi, dan beragam drama. Bahkan, karena unsur emosi begitu kuat melekat, para pendukung tim olahraga ini seringkali perilakunya menjelma sebagai komunitas berbasis solidaritas mekanis emosional. Mungkin, meminjam istilah sosiologi modern, inilah yang disebut “neotribalisme modern”. Energi emosional ini walau terkadang menjadi bahan bakar kerusuhan, namun bila dikelola dengan baik dan proporsional, dapat menjadi perekat erat spirit kebangsaan.

Dan tentu saja, karena sepakbola memiliki magnet kuat dalam menarik penonton. Olahraga ini menjadi bagian penting dari bisnis dan politik, atau bahkan harga diri suatu bangsa. Tim nasional sepakbola dapat menjelma menjadi bagian perwakilan identitas kolektif bangsa. Karena itu, dalam perebutan piala Sepak Bola Dunia (World Cup), semua emosi kolektif bangsa dapat tertumpah ke sana. Agar emosi tak liar, maka aturan pertandingan, pelaksanaan penyelenggaraan, hingga sportifitas dalam bermain menjadi sangat penting. Kalah menang dalam pertandingan itu soal biasa. Namun kalah karena dicurangi, atau menang tapi dilakukan dengan cara tak sportif, maka kompetisi yang harusnya berbasis pada prinsip “adil dan beradab” akan rusak.

***

Kembali ke soal pertandingan semalam antara tim nasional Indonesia melawan Bahrain, jujur saya menikmati. Namun, karena sebelum pertandingan saya mengikuti banyak ulasan terkait perilaku wasit Ahmed Al Kaf, asal Oman, yang dicurigai sangat berpotensi akan berlaku tak adil, dan juga mengikuti banyak ulasan terkait perilaku para pemain Bahrain yang suka “mendramatisasi pelanggaran” (pemain pura-pura kesakitan saat benturan fisik), maka sejak awal saya sudah ancang-ancang akan menyaksikan drama ketidakadilan wasit dan sandiwara pemain.

Awalnya, kecurigaan saya itu, tak terbukti. Walau susunan tim wasit kurang netral (semua dari Timur Tengah), pada awal awal pertandingan, bahkan hingga pertengahan babak kedua, saya tak melihat ada putusan wasit yang kontroversial. Ada sih memang keputusan wasit yang agak terlalu mudah memutuskan pelanggaran pada pemain Indonesia sehingga mengganggu alur permainan tim Indonesia. Tapi saya anggap itu bagian “bias wasit” yang tak ekstrim. Mana ada sih wasit yang dapat memuaskan setiap penonton partisan?

Namun, tragedi yang saya curigai sejak awal ternyata terjadi. Ini baru terlihat jelas ketika kesebelasan Bahrain mengalami titik kritis, yakni kehabisan waktu untuk membalas kekalahan, saat tertinggal dari Indonesia dengan skor 2-1. Nampak jelas, perilaku tak adil mulai diperlihatkan. Ini dilakukan oleh wasit pemimpin pertandingan, Ahmed Al Kaf, asal Oman itu. Terlepas dari hebatnya serangan timnas Bahrain menjelang akhir pertandingan yang harus kita akui, namun keputusan wasit Al-Kaf yang mengulur waktu “injury time” terlalu lama (lebih dari tiga menit dari waktu yang ditentukan) jelas mempertontonkan ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang.

Saya dan istri yang ikut menonton melalui layar kaca, ikut-ikutan emosi. Barangkali, ini pertanda bahwa kami juga menjadi bagian “neotribalisme modern” yang saya sebut tadi. Saya menyadari, sebagai penonton partisan, ternyata sangat mudah tersulut emosinya, saat ada pihak lain (orang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan) melakukan ketidakadilan secara kasat mata. Dengan menggerutu panjang sambil diselingi dengan sekali-kali celetukan istri, ada kesimpulan yang saya dapatkan dari nonton pertandingan timnas Indonesia vs Bahrain malam ini (biar terlihat akademis hehe), yaitu:

1. Bila ketidakadilan dilakukan pihak lain mengenai diri kita, maka rasa sakit sungguh terasa. Di sisi lain, pihak pelaku ketidakadilan, sangat mungkin tak menyadari seberapa jauh dan dalam dampak yang diakibatkan oleh perilakunya.

2. Semakin tinggi kerekatan emosi terjadi pada seseorang, kelompok, atau lembaga (dalam hal ini timnas Indonesia), maka rasa sakit hati menjadi semakin dalam bila pihak yang kita cintai dan banggakan dicurangi dan diperlakukan tidak adil.

3. Bila ketidakadilan dibiarkan merajalela, maka petansi konflik antarpelaku dalam penyelenggaraan pertandingan semakin besar. Bagi orang seperti saya, pertandingan yang sebenarnya asyik ditonton, menjadi tidak menarik karena makna kompetisi yang didasarkan pada meritokrasi hancur. Kecurangan dan ketidakadilan selalu menjadi momok bagi tatanan masyarakat beradab. Dalam hal ini, tatanan dunia persepakbolaan.

Kalau peristiwa ini mau dikaitkan dengan nilai-nilai agama, ada ajaran menarik yang tertera dalam kitab suci Alquran (Wah..coba bikin ulasan lebih dalem nih, mentang mentang lawan timnya dari Bahrain hehe).

Konon ada sebuah studi yang menyebutkan, tak kurang dari 30 kali, kata adil dan seluruh kata turunannya digunakan Alquran. Beberapa ayat yang merupakan perintah Tuhan agar sikap adil dalam kehidupan saya kutip ya. Coba kaitkan ayat ini dengan pentingnya adil dalam mengelola organisasi sepakbola, saat menjadi pemain, penonton, dan juga saat menjadi wasit. Ayatnya tentang adil begini:

Dalam Menetapkan Aturan

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan aturan di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” [Surah An-Nissa (4):58]

Dalam Bersikap Sehari-hari

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan…” [Surah An-Nahl (16) : 90]

Dalam Berbicara

“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu.” [Surah Al-An’Aam (6):152]

Dalam Bersaksi

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. [Surah An-Nisaa (4):135]

Dalam Mendamaikan Perselisihan

“…maka damaikan antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah..” [Surah Al Hujurat (49) : 9]

Menghadapi Orang yang Tidak Disukai

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” [Surah Al Maidah (5) : 8]

Dan banyak lagi perintah Tuhan agar kita berlaku adil.

Apapun yang kita lakukan dalam hidup, prinsip adil sangat penting dilakukan. Sikap adil dalam arti “moderat”, “berimbang”, “pantas”, “patut” atau “proporsional” adalah basis tatanan kehidupan sosial utama. Bila ketidakadilan merajalela, pasti FIFA tak akan lagi dipercaya sebagai penyelenggara turnamen penting ini. Organisasi yang anggotanya kini sudah mencapai 211 negara, akan kehilangan kredibilitas. FIFA adalah organisasi besar, bahkan lebih besar dari PBB yang hanya beranggotakan 194 negara, termasuk Palestina yang baru diratifikasi keanggotannya 10 September 2024 lalu.

*Sosiolog, dosen FISIP UI, Ketua Yayasan Nurani Dunia


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co