Selain dikenal sebagai bangsa bahari, Indonesia lama memperoleh predikat bangsa agraris. Semua bermula pada era kerajaan. Kerajaan berkarakter bahari berada di sepanjang tepi pantai dari Aceh sampai Maluku dan sungai-sungai besar di Nusantara. Kerajaan angraris kebanyakan berada di pedalaman dengan simbol Mataram baik kuna maupun Islam.
Kehidupan agraris bersumbu pada budaya pertanian. Ditandai oleh kehidupan petani yang memegang teguh harmoni dan tradisi. Mereka memiliki kebiasaan mengedepankan kerukunan untuk bersama-sama meraih kemakmuran dan kedamaian. Rembug dan musyawarah lebih diutamakan dari pada memperuncing perbedaan dan pertikaian.
Bangunan cakruk yang dulu banyak didirikan di tepi sawah seperti pada gambar sering diidentikkan dengan budaya agraris. Selain untuk tempat istirahat, cakruk biasa digunakan sebagai tempat berembug mengenai beragam permasalahan pertanian. Bagaimana pola tanam, benih yang ditanam, cara menghadapi hama penyakit, pembagian air sampai mengelola hasil panen.
Satu tempat digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan, saat musim panen tiba para petani bisa sama-sama menaruh hasil panen tanpa berebut ruang atau salah paham mengenai bagiannya masing-masing. Konsep gotong royong masih dijunjung tinggi. Patembayan masih diutamakan. Saling bantu menjadi kebiasaan. Petani hidup swasembada dalam pengeetian sebenarnya: menanam sendiri untuk kebutuhan hidup sendiri bahkan bisa disimpan dan digunakan untuk kehidupan bersama.
Cakruk semakin kehilangan tempat dan peran. Sawah-sawah tidak memiliki lagi bangunan yang bisa digunakan bersama. Bahkan pematang pun semakin kecil dan sempit. Apakah ini tanda menguatnya egoisme? Entahlah. Belakangan cakruk pindah posisi menjadi poskamling. Itupun juga semakin sepi. Zaman memang sedang bergerak, dan tak banyak yang menyadari bahwa kita semakin jauh dari akar budaya.
(Jay)



