Seratus Tahun Kedamaian Jimmy Carter

Oleh Hamid Basyaib*

“SUATU hari ada sahabat Jimmy Carter meninggal, dan dia diminta berpidato di permakaman,” tutur Ronald Reagan, penantang petahana Carter dalam pilpres Amerika 1980. “Pidato Carter panjang sekali, sampai yang wafat pun ikut menguap…”

Itu cara Reagan, seorang master pembicara publik yang memikat, untuk menyatakan betapa membosankannya pembicaraan orang yang sedang ditantangnya. Carter akhirnya kalah, tak mampu menjadi presiden untuk kedua kali.

Tapi bukan karena fiksi guyonan Reagan itu ia kalah — ledek-meledek dalam pilpres di sana memang lazim; para kontestan biasanya menyewa penulis humor yang piawai untuk bahan membuli lawan. Carter kalah karena rakyat Amerika tidak percaya ia mampu membebaskan diplomat-diplomat Amerika yang disekap di kantor kedutaan di Teheran (total masa penyanderaan mereka: 444 hari).

Ronald Reagan, Gubernur California, bintang film Western tampan dan gagah yang pidato-pidato fasihnya menjanjikan kedigdayaan Amerika, diyakini sanggup membereskan penyanderaan yang merisaukan seluruh penduduk Amerika itu.

Bukankah Reagan adalah koboi jagoan? Seperti rakyat awam di mana-mana, warga Amerika tidak selalu mampu membedakan antara fakta dan fantasi, antara cerita film dan realitas faktual.

Sindiran Reagan soal pidato pemakaman itu mudah dikonfirmasi. Carter memang berbicara dengan datar, tiada letupan apapun, cenderung bernada akademis yang membosankan — tiada satu pun elemen yang cocok untuk mengatasi krisis sandera Teheran.

Di dasarnya, mungkin juga ia memang pribadi yang terlalu baik untuk mencebur ke kancah politik praktis. Ia disebut merugi dari segi bisnis dengan menjadi presiden. Perusahaan kacangnya mendatangkan penghasilan yang jauh lebih besar dibanding gaji dan fasilitas seorang presiden.

***

Setelah pensiun ia justru semakin memantapkan kenegarawanannya, merasa lebih leluasa dan terbebas dari protokol formal politik. Ia mendirikan The Carter Center, antara lain untuk membantu proses demokratisasi di banyak negara, misalnya dengan ikut mengawasi pelaksanaan pemilihan umum.

Tim Carter Center juga beberapa kali memantau pelaksanaan pemilu di Indonesia. Bahkan, pada pemilu 1999, yang menandai era baru demokrasi Indonesia, ia sendiri yang datang ke Jakarta bersama isterinya, Eleanor Rosalynn.

Ia juga dianggap mewarnai lanskap baru politik Timur Tengah dengan mengundang Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin ke vila resmi Presiden Amerika di Camp David (1979).

Selama 13 hari di sana, Carter dengan sabar berunding dengan kedua aktor utama politik Timur Tengah itu, meski keduanya, menurut seorang penasihat Carter, “bagaikan dua kalajengking di dalam botol.”

Camp David Accords akhirnya tercapai. Sadat dan Begin meraih Hadiah Nobel Perdamaian. Carter sendiri baru mendapat Nobel serupa jauh kemudian, tahun 2002, untuk kerja-kerja perdamaiannya yang produktif.

***

Meskipun orang tuanya cukup mampu, ayahnya pedagang dan ibunya bidan, tapi mereka hidup di lingkungan warga kulit hitam yang agak kumuh di Georgia, negara bagian tempat ia kemudian menjadi senator dua kali dan gubernur.

Di jaman segregasi di era 1930-an itu ia, yang hidup di rumah tanpa listrik dan selalu kekurangan air bersih, bergaul dengan anak-anak kulit hitam tanpa canggung, meski ia belajar di sekolah yang semua muridnya kulit putih.

Ia, katanya kepada Oprah Winfrey, satu-satunya anak kulit putih di tengah 200-an anak kulit hitam di kampungnya di Plains. “Semua kawan saya anak Afrika-Amerika,” ujarnya. “Saya bermain, berkelahi, pergi memancing dan berburu dengan kawan-kawan Afrika-Amerika.”

Sikap anti-diskriminasi itu ia dapatkan dari teladan ibunya, yang tidak pernah membedakan perlakuan terhadap warga kulit putih dan hitam. Jauh kemudian, bekas didikan ini masih tertanam kuat pada diri Carter.

Tak lama setelah ia menjadi presiden (1977), ia mengangkat Andrew Young sebagai duta besar Amerika di PBB. Dengan itu Young menjadi pejabat kulit hitam tertinggi di Amerika hingga saat itu.

***

James Earl Carter wafat di rumahnya di Georgia dalam usia 100 lebih dua bulan, kemaren pagi. Sepuluh tahun lalu, ia menerbitkan memoar “A Full Life: Reflections at Ninety”, sebuah renungan atas endapan pengalaman dan penghayatannya terhadap hidup selama 90 tahun. Inilah 15 pelajaran dari buku itu:

1. Hargai keluarga dan teman-temanmu. Mereka adalah orang-orang terpenting dalam hidupmu.

2. Bersikaplah rendah hati dan penuh belas kasih. Perlakukan semua orang dengan hormat, tanpa memandang status sosial atau latar-belakang mereka.

3. Kerja keras dan gigihlah. Jangan takut untuk menetapkan tujuan ambisius dan bekerja keras untuk mencapainya.

4. Jujur dan etis. Selalulah lakukan hal yang benar, bahkan ketika itu sulit.

5. Kembalikan apa yang kau miliki kepada komunitasmu. Gunakan waktu dan sumber dayamu untuk membantu orang lain.

6. Bersyukurlah atas apa yang kau miliki. Jangan menganggap berkah yang kau dapatkan sebagai hal yang sepele.

7. Jangan takut gagal. Kegagalan adalah bagian dari hidup. Belajarlah dari kesalahanmu, dan lanjutkan.

8. Jadilah manusia yang pemaaf. Maafkan dirimu sendiri dan orang lain atas kesalahan mereka.

9. Hiduplah di saat sekarang. Jangan terlalu terpaku pada masa lalu atau khawatir tentang masa depan.

10. Nikmatilah hidup. Temukan hal-hal yang kamu gairahi dan luangkan waktu untuknya.

11. Bersedialah untuk menerima pengalaman baru. Cobalah hal-hal baru dan keluar dari zona nyamanmu.

12. Selalulah bersikap ingin tahu. Ajukan pertanyaan dan pelajari dari orang lain.

13. Bersikaplah berani. Bertahanlah untuk apa yang kau yakini, bahkan jika itu tidak populer.

14. Bersikaplah penuh harapan. Percayalah pada masa depan yang lebih baik, untuk dirimu sendiri maupun dunia.

15. Berusahalah untuk berprestasi. Gunakan bakat dan kemampuanmu untuk memberikan dampak positif pada dunia di sekitarmu.

Semua itu adalah renungan dan saran yang mungkin cukup sering Anda dengar. Tetapi jika pengucapnya adalah seorang yang pernah paling berkuasa di dunia, dengan pengalaman hidup yang begitu kaya dan penuh makna, sebaiknya Anda simak sebaik-baiknya.

Apalagi, keautentikannya diketahui oleh seluruh dunia. Semua orang tahu bahwa 15 butir saran Jimmy Carter itu memang sungguh-sungguh ia jalankan selama satu abad penuh hidupnya. ***

*Penulis dan Jurnalis Senior


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co