Setengah Abad Malari 1974: Yang Menggeliat Yang Dibabat

Oleh: Wahjudi Djaja*

Dalam lipatan sejarah Indonesia, letupan mahasiswa dan pemuda sering membuka dan menjadi momentum kenegaraan. Mahasiswa STOVIA menginisiasi Budi Utomo 1908. Beragam organisasi kepemudaan membuat Ikrar Pemuda 1928. Revolusi 1945 antara lain meletus karena heroisme pemuda. Orde Baru 1966 berdiri juga berkat demonstrasi para mahasiswa dari berbagai kesatuan. Mahasiswa pula yang menumbangkan Orde Baru pada 1998 karena akutnya KKN.

Matahari: Antara Kesadaran vs Penjajahan

Tepat sekali penyair Burung Merak WS Rendra dalam memformulasikan suara hati nurani dengan mengambil simbol matahari. Bercahaya menerangi gulita, mengganti kegelapan dengan terang benderang, dan mengubah keterbelakangan menjadi kemajuan. Matahari adalah sumber energi, pusat gerakan untuk beragam aktifitas kehidupan. Gerakan kebaruan, perubahan, dan kemajuan identik dengan laku langkah pemuda mahasiswa.

Antikemapanan, bernyali menghadapi kekuasaan, kuat dalam menjaga bara perjuangan dan mewakili aspirasi rakyat kebanyakan. Itu tidak lahir dari kehampaan. Mahasiswa selalu mencari alternatif pemikiran dan pergerakan melalui diskusi dan permusyawaratan. Maha Guru Sejarah UGM Sartono Kartodirdjo menyebut orang-orang kreatif itu dengan the creative minority. Kecil dan terbatas di kalangan tertentu tetapi ide, gagasan dan pemikirannya melampaui sekat kepentingan. Ide itu digerakkan, tidak dibiarkan membeku tanpa upaya membumikan.

Baru sewindu (8 tahun) Orde Baru dibentuk dan diperjuangkan para mahasiswa, tetapi arah dan kebijakan negara dibawah kendali Jenderal Soeharto dianggap sudah menyimpang. Di sisi lain, kekuasaan mulai menata dan memperkuat diri, ekonomi dibangun dengan basis investasi luar negeri. Di kalangan militer muncul beberapa faksi seperti Sumitro vs Ali Murtopo, sementara AH Nasution nampaknya tak bisa lagi berdiam diri melihat bangun Orde Baru tak sesuai dengan visi awal pembentukannya. Di luar itu, ada upaya rebutan pengaruh antara Amerika vs Jepang, depolitisasi Islam dan meningkatkan resistensi kalangan mahasiswa terhadap kebijakan Orde Baru. Momentum datang dari Negeri Matahari Terbit saat 14 Januari 1974 PM Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia.

Bandara Halim dikepung ribuan mahasiswa. Mereka menyuarakan anti-Jepang. Hal yang sama dilakukan mahasiswa di Thailand, Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara saat menyambut kunjungan Tanaka. Demonstrasi lebih besar terjadi keesokan harinya. Bergerak dari UI Salemba demonstran mengepung kota. Jakarta memanas. Pembakaran kendaraan produk Jepang dilakukan di sekitar Pecenongan sampai Gambir dan Senen di jantung kota.

Peringatan Malari 2019 di UC UGM

Itulah kerusuhan sosial terbesar sejak Orde Baru berdiri. Tercatat 11 orang meninggal, 297 orang terluka, ribuan motor dan mobil dibakar, 144 gedung hangus terbakar, dan 820 orang ditahan (termasuk Hariman Siregar, Syahrir dkk yang dituduh subversif). 17 Januari 1974 Tanaka dievakuasi dengan helikopter dari Istana Negara menuju Halim. Konstelasi politik militer pun mengalami perubahan. Pangkopkamtib Sumitro diganti Sudomo, Kabakin Sutopo Juwono pun diganti Yoga Sugomo, sementara jabatan asisten pribadi (aspri) yang ditentang banyak kalangan, ditiadakan. Beberapa surat kabar seperti Pedoman, Indonesia Raya dll pun dicabut surat izin terbitnya.

Malari Tetap Misteri

Entah kenapa selalu ada kabut yang tiba-tiba datang menyelimuti tiap kali terjadi huru-hara menyangkut suksesi. Siapa yang berperan, siapa yang memanfaatkan, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana mereka dipertemukan, seolah hilang ditelan zaman. Misteri nampaknya menjadi sejarah tersendiri saat kita bicara transisi 1966, Malari 1974, dan reformasi 1998.

Soeharto aman dan berhasil mengamankan kekuasaannya. Pada Pemilu 1977 terpilih kembali yang diulangi sampai Pemilu 1997. Rentang panjang kekuasaan ternyata tak diimbangi dengan bertahannya daya juang. Gerakan mahasiswa timbul tenggelam merespon keadaan. Ada yang baru menggeliat berjuang untuk rakyat, ada yang langsung dibabat oleh penguasa yang tak amanat. Ada kalanya sebagian tokohnya terkooptasi ke lingkaran kekuasaan, sebagian besar yang lain melihat hidup sebagai kenyataan. Menjadi demonstran, apa boleh buat, tak menguntungkan.

Terkait Malari, para tokoh mencoba membuat buku. Misalnya, Soemitro: Dari Pandam Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang ditulis Ramadhan KH. Itupun belum mampu menyibak kabut misteri yang menyelimuti Malari. Beberapa tokoh dan pelaku sejarah di sekitar Malari pun sudah meninggal. Tak ada klarifikasi, konfirmasi dan narasi yang bisa dijadikan bukti.

Begitulah sejarah. Ia selalu memilih zaman dan tokohnya. Mana yang diangkat, mana yang dibenamkan, tergantung karakter dan kemauan kekuasaan. Itulah sebabnya kita tak boleh taqlid membabi buta dengan politisi, harus ada reserve. Siapa sangka, tokoh yang dulunya nyaring pada kekuasaan berubah menjadi garing saat duduk di kursi kekuasaan? Hidup kadang memang perih, tapi itu selalu karena pilihan yang salah.

Ksatrian Sendaren, 15 Januari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co