Ewith Bahar*
INI BUDI, INI IBU BUDI
Masih ingat tulisan di buku yang nostalgis itu?
Sampai saat wafatnya, pada 10 Mei 2016 (pada usia 97 tahun) tak ada sama sekali penghargaan yang pernah diberikan kepada ibu Siti Rahmani Rauf. Padahal Ibu Rahmani boleh dibilang sebagai salah satu pahlawan pendidikan Indonesia.
Buku pelajaran Bahasa Indonesia yang beliau rancang pada tahun 1980-an silam, lama sekali menancap di benak anak-anak Indonesia. Sampai anak-anak tersebut kemudian menjadi orang tua dari anak-anak generasi berikutnya.
Beliau mengerjakan buku pesanan dari Depdikbud pada tahun 1976 itu tanpa meminta bayaran. Padahal saat itu beliau sudah pensiun dari tugasnya sebagai Kepala Sekolah di SDN 5 Tanah Abang. Jadi, dilakukannya semata karena kecintaan pada dunia pendidikan.
Tidak mudah merancang buku untuk anak-anak, karena harus memahami sisi psikologis mereka, daya nalar mereka, dsb. Kita tidak bisa serta merta bilang bahwa buku buatan Bu Rahmani sudah kuno dan tak cocok lagi dengan perkembangan anak zaman sekarang.
Perlu diketahui, di era mana pun anak-anak tumbuh, bahkan di era teknologi canggih sekalipun, treatment bagi tahapan intelektualitas mereka sama. Menu untuk akselerasi atau percepatan proses lain lagi, yang bisa diberikan setelah masa pembentukan usai atau hampir setengah usai. Lihat buktinya, ketika Buku Bahasa Indonesia buatan ibu Rahmani ditamatkan pemakaiannya, lalu pada kurikulum tahun 2013, diterbitkan buku ajar baru, ternyata impact-nya jauh berbeda. Nyaris tidak bergema itu buku.
Ibu Rahmani punya pertimbangan ilmiah memakai tokoh Ani dan Budi sebagai tokohnya dalam buku, yang merupakan representasi nama (anak-anak) Indonesia yang khas, sehingga anak tidak perlu bergeser dari situasi keseharian yang mereka kenal. Tapi mengapa buku ajar edisi selanjutnya yang juga memasukkan nama-nama Indonesia sebagai tokohnya, lantas tidak “bunyi” dan bergaung di hati anak-anak?
Padahal misinya lebih idealis, yakni mengusung nama-nama khas daerah sehingga diharapkan anak atau murid sudah mengenal keberagaman sejak dini dan belajar toleransi terhadap perbedaan suku dan agama. Ada Edo (Papua), Beni (Batak), Meilani (keturunan Tionghoa), Siti yang berhijab, serta Dayu (Bali). Tapi buku itu “tenggelam” dan yang naik ke atas justru tokoh-tokoh K-Pop seperti Jimin, Jungkook, Kim Seok Jin, dll.
Memang ada positifnya tokoh-tokoh itu, tetapi betapa pun positifnya, mengakrabkan anak-anak yang secara pribadi terhitung masih labil, kepada tokoh identifikasi dari bangsa lain, sudah pasti ada ekses negatifnya. Misalnya, berkurang rasa nasionalismenya.
*Sastrawan, presenter, pemerhati pendidikan



