(Refleksi 12 Tahun Keistimewaan Yogyakarta)
Oleh: Wahjudi Djaja**
Keistimewaan Yogyakarta merupakan keniscayaan sejarah. Predikat itu bukanlah sebuah permintaan tetapi terkait dengan peran kesejarahan Yogyakarta bagi tumbuh kembang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain sebagai jantung peradaban Mataram, pusat kebudayaan Jawa terkait keberadaan Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman (zelfbesturende landschappen), Yogyakarta tidak saja sebagai Ibukota Revolusi (1946-1949), tetapi juga penopang utama eksistensi NKRI saat masih berusia belia.
Dalam bingkai itu, kita menempatkan posisi dan peran Sleman sebagai perisai keistimewaan Yogyakarta.
Beberapa Akar Keistimewaan
Diundangkannya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta pada 31 Agustus 2012 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ada rangkaian peristiwa yang bisa dijadikan latar belakang dan faktor sejarah. Bukanlah sebuah kebetulan jika Yogyakarta menjadi fondasi berdirinya Kerajaan Mataram. Ada tujuh sungai yang menjadi penanda lanskap Yogyakarta, yaitu Kali Progo, Kali Winongo, Kali Code, Kali Bedog, Kali Gajahwong, Kali Tambakbaya, dan Kali Opak. Dalam sumber kuna (Manu Widyaseputra, 2021) disebut sapta sendawa (sapta artinya tujuh, sendawa dari sindu artinya sungai). Di selatan terdapat Laut Selatan, di utara ada Gunung Merapi. Yogyakarta adalah tanah warisan turun-temurun sejarah Mataram yang kini menyisakan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Ada kisah menarik terkait berdirinya Kraton Yogyakarta. Selepas Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) pada 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi (Sunan Kabanaran) mesanggrah di Kraton Ambarketawang (Gamping, Sleman) di tepi Kali Bedog. Dalam sebuah perjalanan (laku) ke arah barat untuk mencari tempat bagi kedatonnya, beliau bertemu dengan seorang pencari ikan yang bercahaya (Soemardjo Nitinegoro, 1980). Orang itu yang tak lain Kyai Wirajamba memberikan petunjuk bahwa tempat terbaik bagi kerajaannya berada di sebelah tenggara hutan Beringin desa Pacetokan yang penuh rawa diantara Kali Winongo dan Kali Code. Wirajamba (Dono Murah) adalah putra Paku Buwono I (Kartasura) yang dilahirkan dari Nyai Rondo Cumbing. Makam kedua tokoh berada di dukuh Gancahan VII, Sidomulyo, Godean di dekat Kali (Embung) Gagak Suro.
Kraton Yogyakarta dibangun Pangeran Mangkubumi untuk mempertahankan budaya kemataraman berdasar konsep Catur Gatra Tunggal (BPCB, 2019). Kraton (pusat kekuasaan raja sebagai senapati ing ngalaga), Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul (ruang interaksi raja dengan rakyat), Masjid Gedhe Kauman (sayidin panatagama khalifatullah) dan Pasar Beringharjo (pusat perekonomian). Pangeran Mangkubumi menempatkan kraton diantara Laut Selatan dan Gunung Merapi. Ketiganya melambangkan konsep pawongan, palemahan, dan parahyangan yang menjadi intisari filosofi hamamayu hayuning bawana yang dirawat dengan tradisi labuhan. Pangeran Mangkubumi membentuk watak dan karakter prajurit berdasarkan prinsip satriya, merekatkan kohesi sosial antara penguasa dengan rakyat berdasarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula gusti, dan membangun lanskap kraton berbasis sumbu filosofi sangkan paraning dumadi (terbagi dalam sangkaning dumadi dan paraning dumadi) dengan menempatkan masjid sebagai penjuru (benteng) yang dikenal dengan pathok negara.
Sleman Dalam Pusaran Keistimewaan
Dari zaman ke zaman Sleman merupakan daerah yang memiliki sejarah termasyhur. Sebagai basis kekuasaan Mataram Kuna meninggalkan jejak berupa kompleks percandian Hindu dan Budha yang luas, megah dan indah. Sleman adalah kota seribu candi. Jejak lain berupa istilah yang sampai sekarang masih dipakai masyarakat (Tashadi dkk, 2000) seperti pinikul dagang, samyawahara (sambewara), abasana (busana), bawang, bras (beras), wuyah, gula, kepulaga (kapulaga), lawe (benang), lnga (lenga atau minyak), wdus (wedus atau kambing), lembu (sapi), kbo (kebo atau kerbau), ayam. Pancawara meliputi pahing, pon, wagai (wage), kaliwuan (kliwon), umanis (legi). Desa (wanua atau thani) dipimpin oleh rama, desa perdikan namanya sima. Batas sima adalah pathok (prasasti) dan diberi pagar yang disebut turus. Terkait penyakit, ada kata belek (sakit mata), humbelen (pilek), bisu, busung, beser, pandak, hayan, mengi, picek, pincang, busung, wungkuk.
Pada masa Kesultanan Yogyakarta, tata kelola kota meneruskan era Mataram. Pusat kekuasaan di tangan raja berkedudukan di kraton. Di sekitar kraton terdapat nagara atau kuthagara tempat para bangsawan (dari patih sampai nayaka) tinggal. Di sekeliling nagara terdapat negaragung dan wilayah di sekelilingnya berupa mancanagara sedang paling luar adalah pesisiran. Pada awal Kesultanan Yogyakarta, posisi Sleman berada di negaragung. Ada dua masjid pathok nagara yang berada di wilayah Sleman, yakni di Mlangi dan Plosokuning. Di Mlangi terdapat makam Kyai Nur Iman (RM Sandiyo), kakak Sri Sultan Hamengku Buwono I atau putra Susuhunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi). Masjid Ploso Kuning dibangun pada 1724 oleh Kyai Mursodo (anak Kyai Nur Iman) pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III (ayahanda Pangeran Diponegoro).
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Sleman menjadi penopang penting upaya Belanda mengembalikan kas negara yang dikuras selama Perang Jawa (1825-1830). Pada 1901 diresmikan kanal Van der Wijck di Tangisan Banyurejo Tempel. Selokan yang berfungsi mengairi area perkebunan tebu Sleman barat sampai Bantul. Selokan itu menopang PG Sendang Pitu (Minggir), PG Rewulu (Godean) dan Moyudan. Di Sleman bagian tengah ada PG Medari (GKBI), PG Cebongan (KUD dan Puskemas Mlati II), PG Beran (menjadi kompleks Kabupaten Sleman) dan PG Demakijo. Di timur ada PG Tanjung Tirto, PG Kalasan dan PG Randu Gunting. Tidak aneh apabila banyak jejak dan peninggalan sejarah bangunan kolonial di Sleman (indis), stasiun termasuk jaringan kereta api. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (Sultan Sugih) ada 17 pabrik gula di Yogyakarta dan kebanyakan berada di Sleman. Berkah Merapi menyebabkan tanah Sleman menjadi subur.
Sleman juga dilalui Selokan Mataram. Mahakarya Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai strategi untuk menghadang romusha Jepang. Upaya mempertemukan Kali Progo dengan Kali Opak dipercaya menjadi prasyarat penting terciptanya kemakmuran rakyat. Tahta untuk Rakyat benar-benar diwujudkan selama Ngarsa Dalem memegang kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Saat Indonesia merdeka, beliau dengan penuh kesadaran menyatakan bergabung dengan NKRI meskipun bisa saja menjadi negara tersendiri. Bahkan saat Jakarta diserang NICA beliaulah yang meminta Bung Karno agar ibukota pindah ke Yogyakarta. Tidak saja gedung dan tanah yang diberikan untuk RI, bahkan APBN pertama Indonesia dan seluruh kebutuhan pemerintahan beliaulah yang menggaransi. Jika Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pendidikan, Ngarsa Dalem yang menyediakan kraton dan tanahnya. Dan jika ada kabupaten di Indonesia yang paling banyak memiliki perguruan tinggi, itu adalah Sleman.
Simpulan
Sleman telah lama berperan dalam sejarah di Yogyakarta. Bahkan sejak awal Masehi telah menjadi pusat peradaban saat periode Hindu Budha, berkembang sampai mengisi keistimewaan Yogyakarta. Sejarah memang kisah tentang masa lalu. Tetapi dari kisah itu kita bisa bercermin bagaimana perjuangan, pengabdian dan dedikasi para pendahulu dalam mengisi kehidupan dan kebudayaan. Dari situlah kita bisa memetik inspirasi, ilmu dan pengalaman sebagai bekal untuk membangun masa depan Sleman. Semoga kita teguh kukuh dalam membawa estafet api sejarah. Dirgahayu Keistimewaan Yogyakarta.
*Disampaikan pada Sarasehan 12 Tahun Keistimewaan Yogyakarta di Rumah Dinas Bupati Sleman pada 30 Agustus 2024
**Wahjudi Djaja (Penerima Anugerah Kebudayaan Kabupaten Sleman 2023 Kategori Budayawan, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta).



