Soedirman Teladan Dalam Laku dan Perkataan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Setelah turun gunung dia menghadap presiden di Istana Gedung Agung. Belaian Fatmawati menentramkan hati. Sukarno Hatta tertegun melihat Panglima yang buru-buru ke Alun-Alun. Ribuan pasukan menunggu dalam defile penuh kehormatan. Tertatih menuju Panti Rapih lalu bertandang ke Magelang. 29 Januari 1950 Panglima pergi usai perang bergemuruh.

Pesan Kesejarahan

“Satu-satunya hak milik republik ini yang tidak berubah meskipun mengalami soal dan perubahan hanyalah angkatan perang Republik Indonesia. Mari kita bersama jadikan negara kita Indonesia sebagai bangsa pemenang. Kita memastikan pesan Jenderal Soedirman itu akan terus tegak dan kita dirikan” kata Jokowi memberi closing statement dalam debat capres ketiga di Hotel Holiday Inn, Jakarta Pusat, Ahad (detiknews 22/6/2014).

Hari-hari menjelang Pilpres 2024 TNI dan Polri berada dalam tatapan mata rakyat. Netralitas disoal. Keteguhan TNI dalam memegang amanat sejarah ditunggu, tidak saja oleh para calon presiden dan wakil presiden, tetapi juga rakyat Indonesia. TNI adalah hak milik nasional yang harus menjaga dengan disiplin posisi dan perannya saat kontestasi berlangsung. Sapta Marga dan Sumpah Prajurit tentu bukan hanya untuk dihapalkan tetapi dilaksanakan dan dipraktikkan secara benar penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara.

Kepada Suara Muhammadiyah (Edisi 20 Tahun 2019), Sardiman AM dosen UNY yang meneliti Soedirman menjelaskan, sikap bertanggung jawab dan pantang menyerah dari Jenderal Soedirman ini diabadikan dalam Sapta Marga Tentara Nasional Indonesia. Pada Sapta Marga nomor dua ditulis, “Kami Patriot Indonesia, mendukung serta membela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah”.

Laku hidup penuh perjuangan yang dihayati dengan kesungguhan dan keikhlasan melahirkan sikap dan jatidiri yang menjadi teladan. Kata-kata yang disampaikan baik berupa amanat maupun pesan kepada para prajurit menjelma menjadi kata mutiara yang bernas dan memotivasi untuk berjuang. Hampir di semua patungnya tertera kalimat yang diambil dari amanat atau pesan kesejarahan. Lebih dari sekedar kata-kata, untaian kalimat itu menyimpan hikmat. Ia menjadi pedoman tiap kesatuan dalam menggerakkan perjuangan. Soedirman adalah teladan.

Bersimpang Jalan Perjuangan

Dinamika revolusi kemerdekaan 1948-1949 menyisakan kisah yang tak pernah luntur diceritakan. Pagi hari 19 Desember 1948 pasukan Belanda menduduki Maguwo (bandara Adisutjipto). Sebelum sampai tengah kota, Soedirman dengan dikawal Suparjo Rustam, Tjokropranolo dan Suwondo menemui Bung Karno di Istana Gedung Agung. Dia mengajak pemimpin bangsa itu untuk menyingkir dan memimpin perjuangan bersama rakyat. Bung Karno menolak.

Kepada Cindy Adam, Bung Karno berkata:

Engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukan pelarian untukku. Aku harus tinggal di sini sehingga memungkinkan aku untuk berunding dan memimpin rakyat kita semua.

Negosiasi alot berlangsung. Mereka akhirnya bersimpang jalan. Dengan memendam rasa kecewa, Soedirman keluar kota memimpin pasukan dalam perang gerilya, Bung Karno tetap di Istana hingga ditawan oleh van Langen pada 22 Desember 1948 untuk diasingkan ke Sumatra.

Hampir delapan bulan Soedirman memimpin perang gerilya. Naik turun gunung berkejaran dengan pasukan Belanda dalam panas dan hujan. Belanda salah baca. Seolah dengan membombardir Maguwo, menduduki Yogyakarta dan menawan Bung Karno serta anggota kabinet, Indonesia telah bisa ditaklukkan. Dalam kondisi sakit parah, Soedirman yang disapa rakyat dengan Pak Dhe mengawal Republik. Perlu dicatat peran PDRI di Sumatra yang tak henti mengabarkan pada dunia tentang Indonesia.

Pada 23 Mei 1949 Bung Karno menulis surat agar Soedirman turun gunung dan kembali ke Yogyakarta. Soedirman tegas menolak dengan alasan demi menjaga kekompakan Angkatan Perang apalagi sudah hapal dengan tabiat Belanda yang selalu mengajak berunding jika kalah perang. Sebagai konsekuensi perundingan Roem Roijen, pemerintah dikembalikan ke Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Soedirman dan rombongan masuk kota pada 10 Juli 1949. Ribuan rakyat dan pasukan menyambut dengan penuh haru. Tak terbayang, panglima yang paling dicari Belanda itu ternyata kurus, pucat pasi dan lusuh bajunya.

Sempat dirawat di Panti Rapih, Soedirman kemudian menjalani pengobatan di Rumah Paristirahatan Tentara Badaan Magelang. Pada 29 Januari 1950, Panglima Besar Jenderal Soedirman wafat. Tak sempat menikmati kemerdekaan yang lahir batin dia perjuangkan. Kita baca salah satu pesannya kepada TNI, “Pelihara TNI, pelihara angkatan perang kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga. Ingatlah, bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya”.

Ksatrian Sendaren, 29 Januari 2024
Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), penulis buku bilingual Jenderal Soedirman Sang Perisai Bangsa

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co