Soeharto, Nasution dan Relasi Suksesi Sebuah Kekuasaan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Entah apa yang dirasakan oleh AH Nasution saat di muka Sidang Istimewa MPRS pada 12 Maret 1967. Belum lama dia menolak pidato Bung Karno yang berjudul Nawaksara. Baginya, Bung Karno adalah guru politik, saat masih duduk bangku sekolah menengah, Bung Karno telah keluar masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.

Lalu kini, di hadapannya ada Jenderal Soeharto yang siap dilantik sebagai Pejabat Presiden. Nasution meminta Bung Karno untuk memberikan jawaban yang tuntas terkait pertanggungjawaban tentang G30S. Hal yang kemudian melahirkan tarik ulur kepentingan dan eskalasi massa demonstrasi.

Sejarah tak lagi berpihak kepada Bung Karno. MPRS membuat Tap MPRS No.XXXIII/1967, sebuah keputusan yang berisi penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno. Tragis. Tokoh yang sepanjang usianya digunakan untuk memikirkan nasib bangsanya harus menjalani tahanan rumah oleh penguasa yang sebelumnya diberi kepercayaan untuk mengamankan ibukota. Tetapi sejarah selalu memilih masa dan tokohnya sendiri. Soeharto tampil di tampuk kekuasaan, bahkan sampai 30 tahun lamanya.

Orde Baru. Sebuah periode kekuasaan pemerintahan yang meletakkan kestabilan politik dan keamanan untuk pembangunan ekonomi. Di satu sisi, Soeharto berhasil mengendalikan kekuasaan dan pemerintahan dengan dukungan ABRI. Perekonomian jauh lebih mapan dibandingkan era Bung Karno. Jika ada sisi minusnya, antara lain soal HAM dan demokrasi serta KKN yang–saat itu–kita anggap menjadi loop hole.

Saat sindrom Louis XIV mulai merasuki penguasa, saat itulah kekuasaan sudah sampai ambang batas. Soeharto tak belajar dari Marcos, Mobutu, atau Bung Karno. Kekuasaan yang mempribadi–sambil menegasikan aspirasi rakyat dan akuntabilitas publik–tinggal menunggu waktu untuk digulung sejarah. Bermula krisis moneter menjalar ke krisis politik dan kepercayaan rakyat atas pemerintahan, Soeharto harus mengalami masa seperti Bung Karno.

Soeharto saat HUT ABRI ke-51 (Adil, 9/10/1996)

Dikepung demonstrasi, dikhianati orang-orang kepercayaan, desakan internasional dan gagal menjaga amanah konstitusi. Tragedi Mei terjadi, ratusan orang menjadi korban, dan MPR–celakanya dipimpin saudaranya sendiri–justru memintanya untuk lengser keprabon. 21 Mei 1998, bangun kekuasaan yang ditata sejak 1967 limbung lalu tumbang di tangan gerakan reformasi. Soeharto–setelah berkonsultasi dengan para pakar tata negara–mendelegasikan kekuasaan kepada BJ Habibie, Wakil Presiden dan satu-satunya menteri yang sangat dia percayai.

Habibie memang diberi keleluasaan untuk tidak saja menerapkan ilmu kedirgantaraannya melalui IPTN tetapi juga diberi ruang untuk “cawe-cawe” urusan politik dalam negeri. Dia rangkul kelompok Petisi 50, menahkodai ICMI dan diberi akses untuk dekat ke Nasution. Kebekuan hubungan Soeharto dan Nasution berhasil dicairkan oleh Habibie, hingga pada 5 Oktober 1997 Nasution memperoleh gelar Jenderal Besar bersama Soedirman dan Soeharto sendiri. Fakta menyebut, hanya dalam waktu satu tahun lima bulan (21 Mei 1998 — 20 Oktober 1999), pemerintahannya justru produktif dan membuat banyak terobosan termasuk pembebasan tahanan politik, kemerdekaan pers dan Pemilu 1999 yang tercatat paling demokratis selama reformasi.

Sayangnya, MPR di bawah kepemimpinan Amien Rais–orang kepercayaannya di ICMI–menolak pertanggung jawabannya. Ia–apa boleh buat–masih dianggap kepanjangan tangan Soeharto. Kepemimpinan nasional pun berpindah ke tangan Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi. Aneh bin ajaib bahwa makin ke sini kualitas demokrasi kita justru menurun, dan praktik KKN semakin parah.

Periode terakhir Presiden Jokowi ditandai dengan karut marut lembaga negara termasuk KPK, KPU dan MK. Publik dibuat tercengang dengan gejala merebaknya politik dinasti. Kini, kita masih menanti keputusan akhir KPU meski pasangan Prabowo-Gibran telah men-declare kemenangan via quick count. Di sisi lain, ada banyak masalah di depan mata seperti korupsi yang menggila, kemiskinan dan pengangguran yang menganga, kesenjangan pembangunan yang melebar diiringi pembangunan IKN yang tak jua menemukan kepastian menyangkut anggaran serta kian abainya elite politik dengan etika dan moralitas.

Pengulangan sejarah seperti jamak terjadi di negara ini. Orang sulit sekali diajak berpikir sedikit lebih maju untuk memikirkan masa depan saat di hadapannya ada amplop. Jangankan rakyat, ulama dan kiai pun terlibat dalam urusan politik praktis dengan bau money politics. Bangsa besar dan kaya ini selalu dihadapkan pada pilihan sejarah. Entah kenapa sering memilih untuk ke titik 0 terlebih dulu.

Ksatrian Sendaren, 12 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *