Sutan Sjahrir, Banda Neira dan Hidup yang Getir

Oleh Wahjudi Djaja*

“Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka”.

Tak terbayang kesedihan Bung Hatta saat harus mengantar kepergian sahabat sejatinya yang mendahului kembali ke pangkuan Tuhan. Pada 9 April 1966, perdana menteri termuda dalam sejarah itu wafat di Zurich Swiss dan dimakamkan pada 19 April 1966 dalam status tahanan politik. Ironis sekaligus tragis. Sejak muda berjuang demi Indonesia merdeka, saat merdeka mengawal negara menghadapi tipu daya Belanda, tetapi akhir hidup justru dipaksa menempati ruang yang redup.

Lahir 5 Maret 1909 di Padang Panjang Sumatra Barat, Sjahrir dikenal sebagai sosok revolusioner. Bacaan kaliber dunia telah dilahap sejak belia saat sekolah di ELS dan MULO, pada 1926 telah menginjakkan kaki di Bandung untuk sekolah di AMS. Cerdas dan jago debat, menjadikan Sjahrir disegani beragam komunitas pergerakan di Bandung. Pada 1927 telah menggagas Jong Indonesia, yang kemudian aktif memfasilitasi Kerapatan Pemuda 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Semangat perjuangan yang tak pernah padam membawanya ke Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Bersentuhan dengan sosialisme, Sjahrir bergabung dengan Mohammad Hatta dalam Perhimpunan Indonesia. Organisasi inilah yang pada 1925 membuat Manifesto Politik, peta jalan bagi pergerakan nasional di Indonesia.

Rumah pengasingan Sjahrir di Banda Neira (Foto: Wahjudi Djaja)

Aktif menulis di Daulat Rakjat, Sjahrir dengan tajam melontarkan pemikirannya tentang Indonesia merdeka. Kata kunci yang dilontarkan Sjahrir adalah pendidikan, yang ia maknai sebagai “memetakan jalan menuju kemerdekaan”. Pada 1931 pulang ke Indonesia dengan imaji dan pemikiran yang autentik, yang dalam beberapa hal berbeda tajam dengan Soekarno. Tak jarang Sjahrir–jagoan gerakan bawah tanah–mengritik strategi perjuangan Soekarno yang dianggap terlalu lunak bekerja sama menghadapi penjajah. Belanda tak membiarkan gerakan Sjahrir yang kian diminati kaum muda hingga 1934 dibuang ke Boven Digul setahun kemudian dipindah ke Banda Neira bersama Hatta, Tjipto, Iwa selama enam tahun sampai 1942.

Pada 25 Oktober 2018 saya berkesempatan ke Banda Neira dalam sebuah acara sastra Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS). Tak ketinggalan mengunjungi rumah pengasingan para tokoh tersebut termasuk Sjahrir. Cukup menarik dan emosional Sjahrir menggambarkan pulau kecil penghasil pala yang dikenal dunia dan diangankan JP Coen sebagai pusat kekuasaan Belanda. Jejaknya berupa Istana Mini yang dalam beberapa hal mirip Istana Negara. Keindahan Banda Neira tidak saja dia tulis dalam Renungan dan Perjuangan, tetapi juga korespondensinya dengan istrinya Ducatheu. Pesan sejarah yang fenomenal adalah, “Jangan mati sebelum ke Banda Neira”.

Mengitari pulau ini memang tak salah jika Sjahrir begitu terkesima dengan keindahan Banda Neira. Berlatar Gunung Api Banda yang gagah dan anggun, kepulauan ini memang kaya dan subur. Jejak kejayaan pala Banda bisa ditemukan di Pulau Ay. Pulau dengan keragaman hayati yang luar biasa ini amat subur. Anehnya, pulau ini tak mempunyai mata air atau sumur. Kebutuhan air penduduk diambil dari air hujan. Tiap rumah mempunyai bak penampung air. Kekayaan orang kadang dilihat dari seberapa besar ukuran baknya.

Jejak parkenier di pulau Ay (Foto: Wahjudi Djaja)

Di tempat ini dulu ada beberapa parkenier, serupa tuan tanah dengan kebun pala luas. Satu diantara yang saya datangi adalah Welvaren. Pada gapura terlihat jelas pemilik dengan prasasti. Di dalamnya ada rumah yang besar dan megah meski sudah rusak parah. Di sisi timur ada dapur pala, mirip tobong genteng atau bata, tempat pengasapan pala agar awet tahan lama.
Di timur pagar tinggi Welvaren, terdapat kebun pala dengan pohon kenari. Pohon ini didatangkan Belanda dan sengaja ditanam untuk nelindungi pala agar maksimal berproduksi.

Sebuah pulau tak bisa dilepaskan jika bicara era kolonialisme. Pulau Rhun. Sebuah pulau yang tidak saja bersejarah tapi juga jadi penanda awal mula kolonialisme Belanda di Banda. Adalah Perjanjian Breda 20 April 1667 yang menukar Rhun dengan Manhattan. Adalah pala yang menjadi komoditas pembuka sehingga Barat berlomba mengarungi samudera menancapkan kuku eksploitasinya.

Pagi 8 Mei 1621, 40 putra putri terbaik Banda Naira menjalani hukuman mati atas perintah Gubernur Jenderal VOC Jan Peter Zoon Coen. Jejaknya berupa Parigi Rante. Mereka pejuang dan orang kaya yang mempertahankan kehormatan Banda dari monopoli pala Belanda.

Parigi Rante (Foto: Wahjudi Djaja)

Ada 8 tokoh dihukum potomg pancung yakni Ayup (Imam Dender), Kodiat Ali (OK Salamon), Jareng (OK Komber), Kakiali (Hulubalang), Kalapaka Maniasa (OK Lontor), Lebe Tomadiko (OK Lontor), Makatita (OK Ratu), dan Pati Kiat (Imam Kiat). Ada 32 tokoh yang dipenggal kepalanya, yakni Abdul Rahman, Asam, Asan, Bai, Boisan, Boi Ira, Boi Niela, Boi Waini, Datou, Flias, Hassan, Husin, Idries, Islam, Kakiay, Kuat, Kusin, Kodiat Oman, Lampa, Mai Burang, Mai Ari, Malim, Malim Driri, Mai Raman, Mai Sela Lebama, Ratou, Ralou, Saman, Sanda, Salem, Senen, Soda Page. Tercatat 6000 rakyat Banda dibantai era 1602-1621. Parigi adalah nama lain sumur. Di dalam sumur inilah jenazah 40 orang kaya (OK) Banda dimutilasi dan dimasukkan ke dalamnya.

Dalam bingkai keindahan dan kekejaman itu, Sjahrir melihat Banda Neira sekaligus menatap Indonesia. Energi dan komitmen Sjahrir tertuang di dalam karyanya Perdjuangan Kita. Bersama barisan muda, Sjahrir menginginkan proklamasi kemerdekaan pada 15 Agustus 1945, bukan 24 September 1945 sebagaimana direncanakan PPKI. Bau Jepang sangat dihindari oleh Sjahrir. Sejarah kemudian memberi jalan tengah melalui beberapa peristiwa monumental hingga mencapai klimaks 17 Agustus 1945.

Sejarah membuka ruang lebar bagi Sjahrir di awal kemerdekaan. Saat memasuki era parlementer, Sjahrir menjadi Perdana Menteri termuda di dunia. Pada usia 36 tahun harus mengendalikan pemerintahan–merangkap Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri sekaligus–yang harus menghadapi rakus ambisi Belanda dan beragam permasalahan dalam negeri. Dia menjabat PM pada periode 14 November 1945 – 3 Juli 1947, sebuah masa krusial dalam hidup mati Indonesia. Diplomasi tetap menjadi andalannya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia baik di dalam negeri maupun pada forum internasional. Bersama Agus Salim, Sjahrir berhasil memobilisasi dukungan internasional untuk Indonesia melalui forum PBB. Media internasional menjulukinya The Smiling Diplomat.

Penulis di depan rumah pengasingan Sjahrir di Banda Neira

Sejarah mulai mempersempit ruang selepas Pemilu 1955. PSI yang dia bidani tak memperoleh suara yang memadai. Soekarno menguat perannya melalui Demokrasi Terpimpin beriring pergolakan daerah. Sjahrir ditangkap tanpa diadili pada 1962-1965, hingga jatuh sakit. Manusia revolusioner itu dipaksa menelan kepahitan hidup oleh bangsa yang tiada henti dia pikirkan dan perjuangkan. Maafkan kami, Sjahrir.

Ksatrian Sendaren, 9 April 2024
*Ketua Umum Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co