Tentang Paradigma Ilmu dan Moral yang Selalu Berubah

TENTANG PARADIGMA ILMU DAN MORAL YANG SELALU BERUBAH

Oleh: Dr. Amin Mudzakir*

Oppenheimer (2023) adalah film yang bagus, tetapi sejauh yang saya lihat dari postingan orang-orang di Facebook tanggapannya terbatas. Para penonton terfokus pada biografi personal si Oppenheimer, seorang fisikawan teoretis termasyhur yang memimpin proyek pembuaatan bom atom. Dialog-dialognya memang cerdas, filosofis, sehingga cukup pasti membuat mereka yang sedikit berotak akan merenung ketika film masih ditonton di bioskop atau setelahnya. Meski demikian, menurut saya, poin utama film tersebut adalah sejarah politik Amerika Serikat yang mempengaruhi paradigma ilmu dan moral.

Kalau boleh kita bagi, setidaknya ada tiga periode dalam Oppenheimer: pra-Perang, Perang, dan pasca-Perang. Di era pra-Perang, perdebatan terfokus pada soal latar belakang Yahudi si Oppenheimer dan karir akademisnya sebagai seorang fisikawan dengan pendekatan baru di dunia akademis Amerika Serikat. Di era Perang, pokok perhatian tertuju pada hari demi hari yang menegangkan di Los Alamos, New Mexico. Nah, puncaknya terjadi di era pasca-Perang ketika McChartyism membuat si fisikawan jenius itu diungkit keterlibatan masa lalunya dengan komunisme yang hampir membalik citranya sebagai pahlawan menjadi pengkhianat. McChartyism adalah sebuah periode dalam sejarah politik Amerika Serikat pasca-Perang–merujuk pada nama pengusungnya, senator Joseph McCharty dari Partai Republik–yang sangat anti-komunis, sehingga siapapun yang terlibat dengan itu akan dilibas.

Di era pasca-Perang, Oppenheimer gamang. Keputusannya untuk terlibat dalam proyek pembuatan bom nuklir di Los Alamos menyisakan dilema moral. Penyebabnya bukan hanya karena dia melihat ratusan ribu korban warga sipil di Hiroshima dan Nagasaki, melainkan juga karena dia menyaksikan terbitnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Rusia yang tidak kalah mengerikan. Makanya dia terlibat dalam Komisi Energi Atom yang berusaha mengendalikan, kalau bisa menghapuskan, perlombaan pembuatan senjata nuklir di antara negara-negara super power. Namun, usahanya itu bertentangan dengan para politisi dan industrialis senjata yang teruntungkan dari perlombaan pembuatan senjata nuklir itu.

Terlihat dengan jelas bagaimana paradigma ilmu dan moral pada dasarnya tidak bisa dibentuk sendirian oleh para ilmuwan dan komunitas ilmiah, tetapi sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh konstelasi politik yang berubah. Para mahasiswa filsafat ilmu pasti paham rumitnya tarik menarik antara context of discovery dan context of justification dalam kegiatan ilmiah. Ilmu bagi ilmu adalah moralitas naif yang justru berbahaya bagi ilmu itu sendiri.

Saya sebenarnya ingin membawa poin tersebut ke Indonesia secara lebih terang benderang, tetapi saya urungkan–context of justification-nya sedang tidak baik-baik saja. McChartyism pada hakekatnya bukan hanya masalah Amerika Serikat di era 1950-an, tetapi masalah kita bersama hingga sekarang. Ilmu dan politik tidak pernah bisa dipisahkan, meski kelihatannya yang kedua lebih sering memanfaatkan yang pertama.

*Alumni Sejarah FIB UGM, Peneliti BRIN


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co