Tetenger Brayut: Simbol Keberanian dan Perlawanan Rakyat yang Dititeni Belanda

Oleh: Dzulfikar Damaltrik Ali, Ahadiana Nurul Falah dan Nanda Putri Nurmalita**

Pendahuluan

Tetenger Brayut menjadi salah satu penanda yang kaya dengan nilai-nilai keberanian dan sejarah. Sejarah yang menyimpan pelajaran hidup yang bisa dipetik oleh generasi yang bertugas melanjutkan perjuangan pasca kemerdekaan karena mempertahankan kemerdekaan itu bukan hal yang mudah.

Oleh karena itu, makna dan nilai-nilai kehidupan yang tersimpan pada Tetenger Brayut patut dijadikan rujukan yang bisa merefleksi aksi atau tindakan apa yang sudah diperbuat untuk bangsa, baik saat ini maupun yang akan datang.

Sejarah dan Makna Filosofis Simbol yang Digunakan pada Tetenger Brayut

Tetenger Brayut terletak di Dusun Brayut Pandowoharjo Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Istilah tetenger berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti “tanda” atau “penanda”.

Pembangunan tetenger di Dusun Brayut dilaksanakan karena menjadi salah satu lokasi pertempuran sengit melawan pasukan Belanda pada masa Clash II sekitar tahun 1948-1949. Selain itu, ditegaskan juga jika Ooperaitie Kraai dimulai pada 19 Desember 1948 seperti pemberitaan dalam koran De Waarheid. Dalam lingkup sejarah dan budaya indonesia, tetenger merujuk pada objek atau lokasi yang memiliki nilai penting yaitu nilai sejarah, budaya atau simbolis. Tetenger juga dimaknai sebagai monumen, patung atau tempat tertentu yang dapat berfungsi sebagai simbol atau pengingat dari tokoh dan peristiwa tetentu. Dalam hal ini, Tetenger Brayut menjadi lokasi perlawanan tentara rakyat yang didukung oleh masyarakat Brayut.

Saat perlawanan terjadi, hampir semua laki-laki yang ada di Brayut turut berjuang melawan Belanda. Oleh sebab itu, Belanda sangat memperhatikan pergerakan para pejuang yang tinggal di wilayah Dusun Brayut dan sekitarnya. Selain itu, informasi yang diperoleh dari narasumber Aloysius Sudarmadi (2024) menyatakan jika Belanda sampai memiliki foto satelit terkait posisi dan kondisi wilayah dusun Brayut yang ternyata dititeni sebagai salah satu wilayah yang membahayakan bagi pergerakan tentara Belanda. Istilah titeni itu sendiri berarti “menandai” .

Penandaan wilayah yang dilakukan Belanda terhadap Dusun Brayut pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah pemetaan pergerakan dan menentukan strategi jitu untuk mengambil alih Brayut dari kekuasaan tentara rakyat dan pejuang Brayut yang terkenal dengan kesaktian dan keberaniannya. Di samping itu, menurut narasumber Nanik Pujiminarni, wilayah Dusun Brayut dikenal kaya dengan hasil pertanian sehingga dipilih menjadi basis perjuangan masa Clash II karena diprediksi mampu mencukupi kebutuhan logistik para pejuang saat peperangan akibat kelangkaan bahan pokok di berbagai wilayah. Stabilitas hasil pertanian di Dusun Brayut pada saat peperangan didukung oleh luasnya area pertanian dan suburnya tanah di Dusun tersebut.

Pemetaan wilayah Dusun Brayut pada saat itu ternyata membuat Belanda semakin percaya diri untuk melakukan serangan sehingga berhasil masuk ke Brayut melewati Dusun Beran dan memulai perlawanan di wilayah Mancasan Pandowoharjo. Oleh sebab itu, Tetenger Brayut pertama kalinya didirikan di wilayah Dusun Mancasan kurang lebih sekitar tahun 1949-1950 dan saat ini berada di Jalan Noto Sukardjo (bawah pohon beringin) samping depan kantor Lurah Pandowoharjo Sleman. Tetenger tersebut berupa prasasti berukuran kecil yang dilengkapi dengan tulisan: Tanggal 6 Mei 1949 “Aku hanya benda mati namun demi illahi saya menjadi saksi di Brayut ini penjajah Belanda mendapat perlawanan rakyat. Darah mengalir jiwa melayang (Clash II)”. Prasasti kecil tersebut hingga saat ini masih terawat dan bisa dilihat oleh semua orang.

Berdasarkan lokasi pertempuran dan alamat para pahlawan yang gugur, masyarakat dan pemerintah memutuskan untuk membangun sebuah tetenger berjarak 500 meter dari lokasi prasasti di Dusun Brayut sekitar tahun 1977-1980 dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Posisi tersebut dipilih karena dekat dengan bunker, makam, dan tempat tinggal pemimpin pasukan Suparjo Suryo atau yang dikenal juga dengan nama Suryo Soeparjo.

Arsitektur atau bentuk bangunan Tetenger Brayut disesuaikan dengan semangat juang dan keberanian para pejuang sehingga memiliki beberapa ornament yang kaya dengan makna filosofis. Mulai dari bentuk pondasi tetenger yang dibangun menyerupai bangunan persegi empat, lengkap dengan anak tangganya yang menunjukkan jenjang kehidupan yang terus dilalui oleh seorang makhluk. Selain itu, terdapat ornament berupa rantai melingkar yang melindungi padi dan kapas serta senjata laras panjang, bambu runcing lengkap dengan api menyala dan topi pejuang di bagian bawah serta penyangga senjata dan bambu runcing yang hampir menyerupai gapura atau gerbang khas Jawa.

Dari ornamen yang ada bisa ditemukan makna filosofis rantai yang merupakan simbol persatuan dan kesatuan, padi dan kapas yang tentunya melambangkan kesuburan dan kemakmuran, senjata yang melambangkan kekuatan, bambu runcing yang menunjukkan keberanian dan senjata khas Indonesia, api menyala yang melambangkan semangat juang, dan topi pejuang yang biasa menandakan penghormatan kepada para pahlawan yang gugur dalam membela tanah air, dan gapura atau gerbang yang melambangkan pintu atau gerbang perjuangan.

Selain dibangun dengan ornamen yang menarik dan kaya dengan makna filosofis, pada bagian bawah tetenger juga dicantumkan keterangan waktu, yaitu Jumat Wage 6 Mei 1949, lengkap dengan tujuh nama prajurit yang gugur selama perlawanan, yaitu: Sardjiman, R. Suprapto, Suprapto, R. Sudijono, Kusen, Supardjono, dan Djumat Tjokrowihardjo.

Pahlawan yang Gugur dalam Pertempuran Melawan Belanda di Dusun Brayut

Penemuan identitas para pahlawan yang gugur saat pertempuran Agresi militer Belanda II atau Clash II ternyata tidak mudah. Setelah melalui tahap verifikasi dan identifikasi panjang, para pakar sejarah dan pemerintah bekerja sama dengan TNI dan POLRI menemukan informasi terbaru untuk nama-nama pahlawan yang gugur pada saat melawan Belanda sehingga jumlahnya bertambah.

Atas dasar tersebut, pemerintah dan masyarakat memperbaharui data dengan membuat papan informasi terbaru yang diletakkan di sekitar tetenger. Nama-nama tersebut terdiri atas Sarjiman, Budiwiyono, Darmo Suprapto, Prawirodimejo, Kromo, Suridikromo, Cokrowiharjo, Jono, Kusen, Haryono, Suprapto, R. Supraptoharjo, Wongso Paijo, Dalijo.

Tambahan empat belas data pahlawan yang gugur di Brayut diperkirakan bisa bertambah karena banyaknya tulang-belulang yang ditemukan di sekitar bunker yang dulu menjadi tempat persembunyian para pejuang saat pertempuran dan belum bisa teridentifikasi hingga saat ini. Hal tersebut memungkinkan terjadi mengingat strategi perang yang digunakan saat Agresi Militer Belanda II adalah strategi grilya yang mengharuskan tentara untuk masuk dan berpencar ke dusun-dusun, sehingga memungkinkan untuk melibatkan dan mengajak banyak masyarakat dalam pertempuran.

Para peneliti dan penulis

Informasi yang diperoleh juga menunjukkan jika terdapat beberapa tokoh yang berperan dalam membentuk semangat perjuangan masyarakat Brayut, diantaranya yaitu Kyai Brayut yang merupakan tokoh sekaligus orang pertama yang tinggal di Brayut yang awalnya hanya berbentuk grumbul. Grumbul merupakan kawasan pemukiman yang lebih kecil dari desa dan masih mempertahankan tradisi . Selain itu juga, tedapat tokoh lainnya, yakni Kyai Kartopijogo yang merupakan tokoh masyarakat Brayut yag sangat disegani karena keberaniannya. Oleh karena itu, pantaslah Dusun Brayut dititeni sejak lama oleh Belanda.

Bukti Perjuangan Tentara Brayut dalam Melawan Belanda

Beberapa sumber yang ada menunjukkan jika kecerdikan para tentara Brayut dalam menghalau Belanda ternyata tidak terlepas dari kebiasaan para tentara yang tidur pada siang hari sembari bersembunyi di dalam rumah warga dan memanfaatkan waktu di malam hari untuk “memburu” senjata dengan melakukan penyelinapan atau serangan langsung. Tentara Brayut dulunya menjadikan pos-pos tentara Belanda sebagai lahan empuk perburuan senjata. Hingga menurut narasumber Aloysius Sudarmadi, tentara Brayut memiliki persenjataan yang cukup lengkap mulai dari senjata tradisional garen dan tekdup. Tekdup merupakan senjata berbentuk gagang panjang yang berujung besi runcing.

Selain itu, tentara Brayut juga berhasil merebut beberapa senjata mutakhir seperti senapan jarak jauh, senapan runduk, truk militer hingga penangkis serangan udara yang diproduksi dan digunakan untuk menembak jatuh pesawat musuh atau setidaknya mengganggu serangan udara. Akan tetapi, senjata-senjata tersebut saat ini sudah tidak bisa ditemukan di dusun Brayut.

Adapun bukti sejarah yang masih ditemukan di dusun Brayut selain tetenger adalah makam Kyai Brayut, makam Kyai Kartopijogo, bunker dan rumah atau tempat tinggal Suryo Suparjo selaku pemimpin pasukan. Bunker Brayut cukup panjang karena dulunya merupakan aliran pembuangan limbah pabrik kain yang kemudian dimanfaatkan oleh para pejuang saat pertempuran sebagai lokasi persembunyian.

Simpulan

Tetenger Brayut merupakan salah satu penanda yang menjadi bukti perlawanan masyarakat Brayut terhadap Belanda pada masa Agresi Militer Belanda II atau Clash II. Tetenger Brayut tentunya bukan sebatas bangunan tanpa nilai, melainkan sebuah simbol yang kaya dengan informasi berharga tentang perjuangan herois para pahlawan yang gugur di medan pertempuran di bawah pimpinan Suryo Suparjo atau yang biasa disebut juga dengan nama Suparjo Suryo pada hari Jumat Wage bertepatan dengan tanggal 6 Mei 1949 di saat Belanda ingin menjajah Indonesia kembali pasca kemerdekaan.

Terdapat pelajaran sekaligus informasi yang bisa diambil dari tetenger yang bisa dilihat hingga saat ini. Beberapa diantaranya, yaitu: (1) keberanian tentara Brayut dalam menghalau tentara Belanda; (2) solidaritas dan kerjasama atau gotong royong masyarakat dalam melawan Belanda; (3) kegigihan para pahlawan dalam melawan Belanda yang tanpa kenal lelah hingga bersembunyi ke dalam bunker; (4) sikap rela berkorban, jiwa, raga, dan harta dalam mempertahankan kemerdekaan, (5) sikap saling menyayangi dan menghargai antarsesama warga dan pejuang, (6) wawasan tentang taktik perang dan strategi menyelamatkan diri, dan (7) wawasan tentang perubahan bentuk lokasi yang menjadi pusat perjuangan Clash II dari waktu ke waktu.

Semua pelajaran tersebut tentu menjadi bagian penting dalam berbangsa dan bernegara. Tanpa keberanian, tekad, dan semangat tentu para pejuang tidak akan mampu dan berani melawan tentara Belanda yang saat itu telah meniteni atau menandai Dusun Brayut. Semoga ke depan generasi penerus bangsa bisa semakin semangat dalam menghargai dan meneladani para pahlawan serta bisa mengangkat dan membangun penanda di berbagai wilayah yang memiliki nilai history sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab terhadap perjuangan para pahlawan dan kelanjutan pembangunan bangsa.
(*)

Catatan:
*Tulisan ini merupakan kerjasama mabur.co dengan Dinas Kebudayaan Sleman dari Lomba Esai Penulisan Sejarah yang telah diumumkan 9 Oktober 2024. Diedit sesuai kebutuhan, catatan kaki dan daftar tidak dimasukkan.
**Siswa Madrasah Aliyah Negeri 5 Sleman


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co