Oleh: Aulya Putri Anjani, Fariya Munthiani Ananzizah dan Septiana Nur Rizki**
Pendahuluan
Kemerdekaan Republik Indonesia tidak serta-merta mendapat kedaulatan di mata dunia, berbagai invasi terjadi di Indonesia pada awal masa kemerdekaannya. Perang Kemerdekaan II meletus di berbagai penjuru Nusantara, tanpa terkecuali di Yogyakarta. Awal tahun 1949, Sultan Hamengku Buwono IX menggencarkan gagasan serangan besar oleh Yogyakarta terhadap tentara Belanda yang menduduki wilayah Yogyakarta.
Sultan Hamengku Buwono IX meminta izin kepada Jenderal Sudirman untuk melakukan serangan. Jenderal Sudirman meminta Sultan Hamengku Buwono untuk berkoordinasi dengan Letkol Suharto selaku Komandan Brigade X/Wehrkreise III. Letkol Suharto mulai memimpin serangan tersebut, yang kemudian berujung pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan ini tidak hanya terjadi di pusat Kota Yogyakarta, tetapi juga melibatkan beberapa desa dan kota di sekitar Yogyakarta.
Di Kabupaten Sleman, tepatnya di Dusun Watu Balik yang terletak di Kecamatan Prambanan terjadi pertempuran heroik yang menyebabkan gugurnya beberapa warga lokal. Untuk mengenang peristiwa tersebut, tercetus sebuah gagasan untuk memberikan monumen atau tetenger di daerah setempat, yaitu Tetenger Watu Balik. Pembangunan tetenger tersebut atas dasar peristiwa perlawanan para pahlawan lokal Dusun Watu Balik terhadap penjajah Belanda.
Alasan penulis memilih judul “Tetenger Watu Balik : Kembali Dalam Ingatan Muka Segara Trustha Ing Janma, Aksi Heroik Masyarakat Watu Balik Melawan Pasukan Belanda Tahun 1949” guna mengkaji lebih lanjut Tetenger Watu Balik melalui sudut pandang histori, budaya, dan sastra dengan menjelaskan hal-hal menarik yang belum banyak diketahui khalayak luas. Penulisan ini menantang penulis untuk menyingkap fakta lebih dalam mengenai sejarah tetenger di Sleman, khususnya Tetenger Watu Balik supaya bisa mengedukasi khalayak serta diharapkan bisa menjadi sumber informasi, inspirasi, dan motivasi bagi para pembaca.
Aksi Heroik Masyarakat Watu Balik Melawan Tentara Belanda
Watu Balik merupakan sebuah dusun yang terletak di Kalurahan Sumberharjo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman yang menjadi saksi pertempuran heroik warga lokal dengan tentara Belanda. Pada bulan Januari hingga Mei tahun 1949, tepatnya pada masa Agresi Militer Belanda II, jalur sekitar dusun tersebut sering digunakan oleh konvoi tentara Belanda. Kondisi geografis Dusun Watu Balik yang berada pada perbukitan sangat strategis sebagai markas pasukan gerilya. Segala persiapan penyerangan dan pencegatan konvoi tentara Belanda yang melewati jalur Prambanan menuju Piyungan dilakukan di tempat ini.
Pada bulan April 1949, tepatnya hari Senin, para tentara Belanda melakukan aksi penyerbuan di daerah sekitar pabrik tembakau. Pukul 05.00 pagi Belanda sudah berada di rumah-rumah bekas pabrik tembakau Sorogedug dengan menembak secara merawak rawang di daerah gunung dekat Dusun Watu Balik yang disangka sebagai markas para gerilyawan. Belanda melakukan invasi menuju sungai sebelah timur Jogonalan. Sesampainya di sana, pasukan gerilyawan yang berjumlah 30 orang dengan pimpinan Sumpeno melakukan penyerangan terhadap Belanda. Di situlah terjadi pertempuran singkat pagi hari yang berujung pertempuran dengan senjata tajam. Di hari yang sama, tentara Belanda melanjutkan perjalanannya menuju Desa Beloran yang berada di sebelah timur wilayah Watu Balik dan sesampainya di sana mereka berkumpul dan melihat gambar lokasi. Situasi ini dimanfaatkan oleh komandan seksi, Hadisucipto, memerintahkan kepada pengawalnya, Dirun, untuk menembak para tentara yang sedang berkumpul itu. Salah satu tentara Belanda pun tertembak sehingga menyebabkan suasana kacau balau. Para tentara Belanda berpencar dan membalas dengan senjata berat.

Pasukan TNI pimpinan Letda Pratelo yang bermarkas di Dusun Watu Balik, menghalangi aksi tentara Belanda dengan memasangi alat peledak yang ditanam dalam tanah di jalur Prambanan hingga Piyungan. Hal ini mengakibatkan banyak pasukan Belanda yang gugur. Mengetahui hal tersebut, pihak Belanda melakukan serangan sebagai balasan kepada pasukan gerilya di Dusun Watu Balik dengan tembakan meriam kecil. Untuk mempercepat jalannya pertempuran perlu diadakan petugas “Barisan Mati” atau yang biasa dikenal Jibakutai . Adapun delapan orang yang merupakan petugas tersebut, yakni Hadisucipto, T. Ciptosudarmo, Dirun Sartromiyarjo, Marjuni, Purwadi, Ponijo, Eko, dan Wagiman.
Perang gerilya tersebut menyebabkan kerugian di antara pihak Belanda dan masyarakat Watu Balik. Menurut laporan rakyat yang dilalui pasukan Belanda di Kampung Sembir dan Sorogedug terdapat kurang lebih 32 jenazah. Ada satu tentara Belanda yang gugur tertinggal di dekat Makam Tono, Watu Balik. Setelah pertempuran, jenazah tersebut dimakamkan oleh warga setempat di Makam Tono, Dukuh Sawo. Namun, jika situasi dan kondisi negara kembali normal, jenazah tersebut diambil oleh petugas dari Pemerintah Belanda. Adapun korban yang gugur dari masyarakat Watu Balik, yaitu Purwadi tertembak di medan pertempuran, sedangkan Noto Suharto, Atmo Pawiro, Setro Dimejo, Mangun Edris, Tukijan, dan Setro Jumeno tertembak saat hendak mengungsi. Selain korban yang gugur, terdapat korban lainnya yang mengalami luka berat dan luka ringan. Luka berat dialami oleh Eko karena tertembak kakinya di medan pertempuran, sedangkan luka ringan dialami Wagiman karena terkena pecahan meriam kecil di medan pertempuran.
Pertempuran heroik yang terjadi di Dusun Watu Balik merupakan peristiwa dan memori lampau yang memiliki relevansi dengan perjuangan menjaga kedaulatan dan keutuhan negara. Maka dari itu, muncul sebuah gagasan dari warga setempat untuk membangun sebuah monumen atau tetenger yang kelak akan menjadi penanda telah adanya peristiwa heroik tersebut.
Tetenger Watu Balik “Muka Segara Trustha Ing Janma”
Setelah muncul gagasan dari warga setempat, pada tahun 1980, seorang warga Dusun Watu Balik, Suharto, mengajukan pembangunan tetenger sebagai penanda atas peristiwa heroik di Watu Balik kepada KODAM IV/DIPONEGORO. Pada bulan Juni 1981 diputuskan bahwa tetenger dibangun di atas tanah kas desa bersama dengan sebuah gedung pertemuan dan sebidang tanah kosong.
Tetenger Watu Balik berbentuk batu buatan besar dengan posisi vertikal. Pada sisi selatannya dibuat cekung halus dan diukir beberapa informasi. Tetenger tersebut memuat informasi bulan dan tahun pembuatan tetenger, yaitu pada bulan Juni tahun 1981. Selain itu, tercatat 7 nama warga lokal yang menjadi korban dari perang kemerdekaan II di Watu Balik: Purwadi, Noto Suharto, Setro Jumeno, Mangun Edris, Setro Dimejo, Tukijan dan Atmo Pawiro.
Selain nama korban, terdapat kalimat berbahasa Jawa di bagian atas tetenger, “Muko Segoro Trusto Ing Janmo”. Berdasarkan wawancara dengan Guru Bahasa Jawa SMA Negeri 1 Kalasan, Ririn Sulistiyani, S.Pd., kalimat tersebut merupakan praktik ilmu sengkalan yang biasa ditemukan dalam budaya Jawa dan Bali. Muko/Muka berarti wajah atau depan yang memiliki watak angka 9. Segoro/Segara berarti laut yang memiliki watak angka 4. Trusto/Trustha berarti puas, bahagia, berlubang, dan tembus yang memiliki watak angka 9. Adapun Janmo/Janma yang berarti manusia dan berwatak angka 1, sedangkan kata Ing berarti “di” sebagai kata hubung. Kalimat tersebut membentuk angka 9491, sengkalan memiliki aturan baca dari kanan ke kiri sehingga kalimat “Muko Segoro Trusto Ing Janmo” menunjukkan angka tahun 1949 , tahun peristiwa pertempuran Watu Balik. Namun, menurut etimologi, kalimat tersebut bisa dimaknai sebagai banyaknya manusia yang diibaratkan dengan lautan saat berperang kala itu.

Pada tahun 1994, keluarga besar extaruna MA Yogya bersama Soesilo Soedarman, dan Ir. Siswono Yudohusodo memberikan bantuan finansial kepada masyarakat Watu Balik untuk membangun monumen permanen yang rencananya akan berlokasi sekitar 150 meter ke barat dari tetenger. Peletakkan batu pertama secara resmi dilakukan pada 14 Juni 1994 oleh Jenderal TNI (Purn) Soesilo Soedarman, Sri Paduka Pakualam VIII, Mayjen TNI Soeyono Pangdam IV/Diponegoro, Letjen TNI (Purn) Wiyogo Atmodarminto, Mayjen TNI (Purn) H.R. Soehardjo, dan KGPH Hadiwinoto A.N. Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pembangunan monumen pasca peletakan batu pertama kemudian diserahkan kepada seorang anemer. Namun, sampai saat ini monumen tersebut tidak pernah dibangun. Menurut Sadiman, salah seorang warga Dusun Watu Balik, pembangunan monumen pasca peletakan batu pertama dibatalkan karena permasalahan biaya.
Beberapa tahun kemudian, pembangunan bertahap bisa dilaksanakan atas bantuan pemerintah desa setempat, serta dilakukan rekonstruksi dan penambahan prasasti.
Prasasti dari material marmer yang menempel pada alas tetenger berjumlah tiga. Pada prasasti sebelah barat terukir nama-nama pemberi bantuan finansial. Prasasti tengah menuliskan sejarah singkat pertempuran Watu Balik dan bubuhan tanda tangan serta tanggal peresmian tetenger oleh Sri Paduka Pakualam VIII pada tanggal 14 Juni 1994. Prasasti sebelah timur berisi nama-nama yang berpartisipasi pada peletakan batu pertama monumen permanen yang batal dibangun.
Eksistensi Tetenger Watu Balik di Masa Kini
Saat ini, wujud monumen Watu Balik dipertahankan keasliannya, perawatan secara berkala dilakukan dengan mengganti bagian yang rusak dengan material yang sama. Di sebelah barat tetenger, terdapat sebidang tanah kosong yang difungsikan sebagai TK Budi Asih. TK Budi Asih sebelumnya juga berfungsi sebagai PAUD. Namun, dikarenakan banyaknya peserta didik berusia setingkat TK, Gedung Pertemuan Watu Balik dialihfungsikan sebagai SPS Srikandi pada tahun 2016.
Penulis melakukan wawancara kepada sejumlah pelajar yang berdomisili di sekitar Dusun Watu Balik, Sumberharjo, Prambanan, Sleman. Melalui wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa eksistensi Tetenger Watu Balik tidak banyak dikenal kalangan pelajar. Para pelajar menyatakan tidak mengetahui sejarah Perang Kemerdekaan II di Watu Balik. Mereka juga mengungkapkan bahwa aksi heroik di Watu Balik tidak diwariskan secara turun temurun oleh orang tua mereka. Para pelajar tersebut hanya sekilas mengetahui lokasi tetenger tanpa memahami latar belakang Tetenger Watu Balik.
Penutup
Sejarah tetenger di Sleman menjadi perhatian Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman untuk memublikasikan event yang dikhususkan kepada pelajar SMA di Sleman, yaitu Lomba Esai Sejarah. Tujuan lomba tersebut untuk mengingat kembali dan mengetahui lebih dalam mengenai sejarah tetenger di Kabupaten Sleman.
Penulis merepresentasikan dalam karya “Tetenger Watu Balik : Kembali Dalam Ingatan Muka Segara Trustha Ing Janma, Aksi Heroik Masyarakat Watu Balik Melawan Pasukan Belanda Tahun 1949”. Penulisan ini ditujukan kepada khalayak untuk mengintroduksi sejarah lokal wilayah Sleman yang nantinya bisa dikaji lebih lanjut oleh khalayak luas.
Keberadaan Tetenger Watu Balik menjadi simbol perjuangan warga lokal dalam melawan kolonialisme. Semangat para pejuang menjadi inspirasi para pelajar Indonesia guna mempertahankan kemerdekaan. Maka dari itu, sebagai pelajar di masa modern harus memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme. Histori Tetenger Watu Balik dapat menjadi identitas bagi bangsa Indonesia di masa mendatang.
(*)
Catatan:
*Tulisan ini merupakan kerjasama mabur.co dengan Dinas Kebudayaan Sleman dari Lomba Esai Penulisan Sejarah yang telah diumumkan 9 Oktober 2024. Diedit sesuai kebutuhan, catatan kaki dan daftar tidak dimasukkan.
**Siswa SMA Negeri 1 Kalasan



