49 Tahun TMII: Antara Uniformitas dan Budaya yang Diperas

Oleh: Wahjudi Djaja*

20 April 1975 Taman Mini Indonesia Indah (TMII) diresmikan. Sebuah proyek yang menandai dimulainya keterlibatan keluarga Cendana dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan. Seiring dengan itu, bulan madu antara mahasiswa dan penguasa Orde Baru–sebagaimana ditunjukkan saat menggulingkan rezim Sukarno–mulai melonggar bahkan menjauh.

Konsekuensi Atas Koreksi

Orde Baru didirikan sebagai koreksi atas beragam penyimpangan Orde Lama. Tagline yang dibawa tak main-main, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bukan lagi politik, tetapi ekonomi yang dijadikan panglima. Kata kuncinya: pengendalian. Dilantik oleh MPRS sebagai presiden RI pada 12 Maret 1967, Soeharto segera menata kehidupan politik. Setelah sempat ditunda, pemilu pertama era Orde Baru digelar pada 5 Juli 1971. Dilanjutkan dengan fusi partai politik pada 1973 hingga dari 10 parpol hasil Pemilu 1971 hanya muncul Golkar sebagai pilar utama dan PPP serta PDI sebagai pelengkap penderita.

Stabilitas keamanan, pemerintahan dan pembangunan menjadi prioritas utama. Soeharto belajar betul dari jatuh bangunnya pemerintahan era Orde Lama. Kebhinekaan sebagai modal asali dimampatkan ke dalam ika saja. Konsekuensi logisnya, kebhinekaan menjadi tabu dan dianggap sebagai bagian dari masalah. Uniformitas atau penyeragaman mulai dilakukan dalam beragam bidang kehidupan termasuk kebudayaan dengan Jawa sebagai sumbu utama.

Melalui Amir Machmud–orang kepercayaan Soeharto–Siti Hartinah atau Bu Tien membentuk Dharma Wanita, wadah bagi para istri PNS, TNI, dan BUMN pada 5 Agustus 1974. Tak terbayang melihat para ibu dari berbagai suku bangsa mengenakan seragam Dharma Wanita model sanggul dan kebaya Jawa. Sungguh sebuah upaya sistematis untuk menempatkan Jawa sebagai model bagi tumbuh kembang kebudayaan.

Taman Mini: Keragaman dan Sentralisasi

Bermula dari mendampingi kunjungan Soeharto ke Disneyland pada 1971, Bu Tien memperoleh ide untuk membangun sebuah taman. Konsepnya sederhana, sebuah taman yang merepresentasikan miniatur Indonesia. Dana yang dibutuhkan–saat itu–10, 5 miliar. Ide itu kemudian disampaikan di hadapan 26 gubernur di Balaikota agar mendukung rencana pemerintah dengan mengumpulkan 40-50 juta per gubernur. Respon berupa penolakan pun muncul terutama dari para mahasiswa dan aktivis yang melihatnya sebagai proyek mercusuar. Dalam konteks itu, perlu dicatat peran Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang harus menjembatani dua kubu.

Dalam biografi Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi karya Ramadhan KH, Bang Ali bersaksi:
Siapa bilang preseden berbahaya kalau Ibu Tien bicara di depan para gubernur? Menerima tamu adalah pekerjaan saya setiap hari, dan kebetulan waktu itu sedang ada rapat gubernur. Apa salahnya?
Saya adalah administrator yang tidak hanya mengurus soal uang, tapi juga mengurus soal sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Apa saudara tidak tahu, bahwa dengan pembangunan proyek itu sekian ribu penganggur akan tertampung?

Bukan Bang Ali kalau tidak tegas dan kukuh bersikap. Sebagai pemimpin ibukota sekaligus project officer selepas masa transisi, itu adalah haknya. Selain telah menjadi master plan DKI, pembangunan taman mini juga jamak dilakukan seperti yang dikerjakan Ny Marcos di Filipina atau Thailand. Yang kemudian dipandang sebagai masalah adalah keterlibatan Yayasan Harapan Kita milik keluarga Cendana.

Penulis bersama Lembaga Kebudayaan Jawa Sekar Pangawikan saat perayaan Tahun Baru Suro di TMII (Dok: Pribadi)

Antara kebutuhan Bang Ali untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya dan miniatur yang mendukung sektor pariwisata berpadu dengan keinginan Bu Tien untuk membangun taman mini. Proyek taman mini akhirnya bisa dibangun di area seluas 147 ha dan mulai dibangun pada 30 Juni 1972 hingga diresmikan pada 20 April 1975. Sempat terhenti karena peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974, TMII menjadi destinasi yang dikunjungi beragam elemen masyarakat termasuk anak-anak dari penjuru negeri.

Begitulah, dinamika kebudayaan dan kebhinekaan bangsa tak luput dari visi kekuasaan berikut perangkat dan unsurnya. Ada satu hal yang perlu menjadi catatan, pengembangan kebudayaan tak bisa dilakukan secara instan dalam bentuk ekstrak. Dalam jangka panjang kebijakan itu justru kontraproduktif dengan watak dan karakter dasar kebudayaan. Membuat taman mini atau miniatur dan pusat kebudayaan bukan hal yang salah, tetapi memperhatikan dan mempedulikan konteks di mana kebudayaan hidup dan tumbuh tak boleh ditinggalkan. Kita mengembangkan kebudayaan bukan “dalam rangka” sebagaimana diingatkan Umar Kayam, tetapi karena dari situlah esensi kebhinekaan Indonesia terbangun hingga mempesona Douwes Dekker dalam sebutan “zamrud khatulistiwa” dalam Max Havelaar.

Setelah selama 44 tahun berada dalam pengelolaan keluarga Cendana (Yayasan Harapan Kita), TMII diambil alih hak pengelolaannya oleh pemerintah melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2021. TMII kini berada dalam pengelolaan PT Taman Wisata Candi Borobudur. Sebuah era telah berganti. Sebuah legacy pun harus diakuisisi.

*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co