Perang sipil meledak di negara yang menjadi penghulu sejarah demokrasi Prancis. Seolah mengulang kembali meletusnya peristiwa penjara Bastille yang memicu terjadinya Revolusi Prancis 14 Juli 1789, kerusuhan yang sudah berlangsung selama lima hari ini menyisakan beragam pertanyaan.
Bermula dari penembakan yang menyebabkan tewasnya seorang pemuda, Merzouk, kerusuhan berbau rasial ini meletus di Prancis bagian barat. Lebih dari 40.000 polisi yang dikerahkan belum juga mampu meredam keberingasan massa. Dilansir dari beberapa media, tak kurang dari 2000 mobil dibakar, 700 toko dirusak, dan 2.500 bangunan terbakar diikuti dengan aksi penjarahan. Seribuan orang telah ditahan akibat kerusuhan itu, tetapi belum juga memadamkan api kemarahan.
Nahel Merzouk (17), seorang keturunan Aljazair hidup bersama ibunya, Mounia. Seperti biasa, pagi itu Merzouk pamit ibunya untuk bekerja sebagai sopir pengiriman makanan. Dia tercatat sebagai pemain di Liga Rugby. Tiap kali berangkat kerja Merzouk mencium ibunya sambil mengucap, “Aku mencintaimu, Bu”. Hingga terdengar kabar, dia ditembak polisi dari jarak dekat. Dan meletuslah kerusuhan Prancis (27/6/2023).
“Apa yang akan saya lakukan sekarang? Saya mencurahkan segalanya untuk dia. Saya hanya punya satu. Dia adalah hidup saya, sahabat saya”, kata Mounia penuh kesedihan.
Ada beragam analisis mengapa meletus kerusuhan yang tak diinginkan keluarga Mounia dan memicu krisis di Prancis ini. Penembakan Merzouk hanyalah casus belli dari kerusuhan Prancis. Ada masalah diskriminasi yang tajam, kesenjangan ekonomi di kalangan migran, rasisme yang belum terselesaikan, dan sekularisme yang ekstrim.
Jika Revolusi Prancis melahirkan slogan Liberty (kebebasan), Egality (Persamaan), dan Fraternity (Persaudaraan) yang sampai kini masih masuk dalam referensi kita, entah apa yang akan muncul setelah kerusuhan 2023.
(Jay, dari berbagai sumber)



