UGM Dalam Konfigurasi Kekuasaan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Konfigurasi kekuasaan sejak era Orde Baru tak bisa lepas dari peran kaum teknokrat. Rancang bangun Orde Baru disusun dengan baik oleh sebuah tim yang kemudian dikenal publik sebagai Mafia Berkeley. Dengan mengadopsi model pembangunan WW Rostow, Suharto sangat terbantu dengan keberadaan Widjojo Nitisastro cs yang berasal dari Universitas Indonesia (UI).

Pembangunan yang mengejar pertumbuhan, mengedepankan pendekatan militeristik, dan abai pemerataan serta HAM menjadi sasaran kritik kalangan intelektual. Dalam konfigurasi sosial politik ekonomi itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) memegang kendali daya kritis. Tidak saja para mahasiswa, para dosen dan guru besar melalui beragam lembaganya menjadi corong utama kepentingan rakyat. UGM adalah Universitas Kerakyatan. Bunderan UGM menjadi tempat paling tinggi intensitasnya untuk demonstrasi di Asia Tenggara. Tempat itu menjadi simpul pergerakan berbagai universitas dan perguruan tinggi di Yogyakarta selama bertahun-tahun.

Jamaah Shalahudin UGM yang bermarkas di Gelanggang Mahasiswa adalah kawah candradimuka bagi banyak kader pemimpin. Hal yang sama juga ada di Jamaah Masjid Salman ITB. Tokoh cendekiawan muslim dari kedua komunitas saling mengunjungi dalam beragam acara seperti Ramadhan di Kampus. Merekalah yang mewarnai panggung wacana nasional tentang Islam. Yang mereka hadapi tak tanggung-tanggung, Pangkopkamtib, yang memiliki otoritas dalam menerjemahkan kekuasaan.

UGM tercatat menjadi pelopor Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebuah laboratorium bagi mahasiswa untuk berbakti kepada masyarakat dengan tokoh Koesnadi Hardjasoemantri. Di sana ada Teuku Jacob, paleoantropolog yang disegani dunia terkait Pithecanthropus Erectus. Purna Budaya UGM begitu melegenda menjadi barometer karya cipta seni budaya dengan tokoh utama Umar Kayam. Siapa tak kenal Sartono Kartodirdjo, Mahaguru Ilmu Sejarah yang mengintrodusir pendekatan multidimensi? Di ujung Bunderan UGM ada lembaga P3PK, tempat Mubyarto, Loekman Sutrisno, Masri Singarimbun dkk mendiskusikan Ekonomi Kerakyatan dan Kependudukan. Di sisi belakang Sekip ada PPSK dengan tokoh Amien Rais yang fokus pada politik. Para dosen adalah pemikir sekaligus aktivis sosial politik. Permasalahan bangsa mulai Marsinah, Kedungombo sampai suksesi kepemimpinan nasional tak luput dari radar akademis mereka.

Masih terkenang bagaimana Reformasi Damai digelar di kampus ini oleh Rektor UGM Ichlasul Amal. Juga Pisowanan Ageng pada 20 Mei 1998 yang menyertainya. Berbeda dengan apa yang terjadi di Jakarta dan Solo–yang harus menyisakan kepedihan sampai saat ini–gerakan reformasi di Yogyakarta memiliki karakteristik tersendiri. Memang terjadi Peristiwa Gejayan yang meminta korban Mozes Gatotkaca. Sampai di situ, UGM bukanlah penghuni menara gading!

Di pengujung kekuasaan Orde Baru saat BJ Habibie mulai menguat pengaruhnya, Suharto membuka ruang bagi kelompok Islam dan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Yang terakhir ini kebanyakan menjadi pilar utama berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sektarianisme menjadi peluru yang ditembakkan lawan-lawan ke Habibie, bertubi-tubi, tetapi–kemudian ironisnya–periode kekuasaan BJH ternyata justru menjadi yang terbaik pasca reformasi.

Jeda kekuasaan pasca reformasi ditandai dua kekuasaan–Gus Dur dan Megawati–dalam transisi kekuasaan MPR RI dan amandemen UUD 1945. Periode berikutnya presiden dan wakil presiden tidak dipilih oleh anggota MPR tetapi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. SBY tampil menjadi presiden pertama pilihan rakyat bahkan untuk dua periode. Giliran Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mewarnai kekuasaan. Meskipun Budiono (UGM) dipinang menjadi wakil presiden periode kedua, nampaknya tak menyediakan gerbong yang mewah bagi para pemikir dan teknokrat asal Bulaksumur.

Tak ada penantian yang tak membuahkan kehangatan. Bulan madu kekuasaan akhirnya datang dengan mengharu-biru Kampus Biru. Joko Widodo–mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta–naik ke tampuk kekuasaan, tidak saja membawa konsep Nawacita–buah pemikiran para akademisi UGM–tetapi juga membawa gerbong kekuasaan bagi banyak Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Membincangkan politik kontemporer Indonesia tanpa menyinggung Pratikno–mantan Rektor UGM–rasanya kurang afdol. Mensesneg itu dalam beberapa hal menjadi tumpuan Jkw dalam menata dan mengoperasionalkan kekuasaannya.

Dua periode kekuasaan Jkw berjalan seolah tanpa masalah, sampai tahun terakhir menjelang Pemilu 2024 terjadi perubahan konstelasi politik. Ganjar Pranowo–Ketua Kagama yang juga berasal dari partai dimana Jkw dulu naik menjadi presiden–menjadi capres dari PDIP didampingi Mahfud MD. Dia menghadapi Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka (Walikota Solo, anak Jkw) dan Anies Baswedan yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar dimana keduanya juga alumni UGM.

Sejarah sedang berjalan, semoga catatan dengan tinta keemasan yang bisa dibaca generasi penerus bangsa pada masa yang akan datang. Harapannya, UGM tetap bisa mewarnai konfigurasi panggung politik nasional dengan elegan dan membanggakan, melalui ide, konsepsi, gagasan dan gerakan pemberdayaan.

Alumni universitas kebangsaan pertama di Indonesia yang lahirnya memperoleh sentuhan tangan Presiden Soekarno dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini telah tersebar di berbagai peran dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi hanya UGM yang memiliki alumni pernah menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat dan lurah lengkap jajaran birokrasi sedemikian banyaknya.

UGM yang hari ini menapaki Dies Natalis ke-74 sedang berada dalam tatapan rakyat Indonesia. Tak bisa lagi kita memutar jarum jam sejarah sambil membuka kenang tentang perguruan tinggi yang lama dikenal sebagai Kampus Ndeso. Faktanya, UGM telah menjadi kampus kosmopolitan yang maju dan modern.

Namun, tidak salah juga jika berharap agar Kampus Biru tetap berada di garda depan dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di dalam maupun di luar struktur kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan itu temporal datang pergi, tetapi pengabdian pada kemanusiaan dan kebudayaan akan abadi dalam kehidupan.

Dirgahayu Kampus Biru-ku, Jayalah selalu UGM-ku. Merdeka…!!!

Ksatrian Sendaren, 19 Desember 2023
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co