Oleh: Wahjudi Djaja*
Dikenal sebagai pendiri persyarikatan Muhammadiyah (18 November 1912), KH Ahmad Dahlan (1 Agustus 1868-23 Februari 1923) memiliki hubungan dekat dengan kaum pergerakan. Selain berusaha melakukan syiar dan penyempurnaan pengamalan ajaran Islam, Kyai Dahlan juga berinteraksi dengan para tokoh Budi Utomo.
Dalam penelitian sejarawan Ahmad Adaby Darban, hubungan antara Kyai Dahlan dengan kaum pergerakan itu diawali dari persahabatannya dengan Wahidin Sudirohusodo. Seorang bangsawan berdarah Bugis yang tinggal di Mlati dan menjadi mentor kalangan intelektual. Kyai Dahlan kemudian memberikan bimbingan rohani untuk kalangan Budi Utomo di Yogyakarta dan berdakwah di Sekolah Guru (Kweekschool) serta OSVIA. Dari interaksi ini Kyai Dahlan juga mengambil manfaat antara lain berinisiasi untuk menggerakkan syiar Islam secara lebih terorganisatoris dan modern. Organisasi yang tidak hanya berkutat pada pendidikan dan pengajaran tetapi yang bisa menghimpun kaum pembaharu. Kyai Muhammad Sangidu mengusulkan nama Muhammadiyah yang kemudian disepakati para sahabat, saudara dan murid Kyai Dahlan.
Bukan hal yang mudah bagi Kyai Dahlan untuk bisa menjalankan dakwah sekaligus menggerakkan reformasi. Resistensi dan perlawanan muncul baik dari kalangan ulama Kauman maupun sesama penganut ajaran Islam. Kyai Basjir yang mencoba menentang menjadi luluh sehingga ikut berada dalam barisannya setelah mendengar kesaksian Kyai Hasjim Asyari, gurunya, bahwa Kyai Dahlan itu sahabat sekamar ketika mondok di Kyai Saleh Darat Semarang yang shaleh dan konsekuen dalam menjalankan Alquran. Dalam bahasa Kuntowijoyo, ada persamaan antara agama dan kebudayaan. Selain sama-sama sistem nilai dan sistem simbol, keduanya mudah merasa terancam setiap kali ada perubahan. Dan Muhammadiyah adalah gerakan kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama.
Jika politik dimaknai hanya soal (perebutan) kekuasaan, bukan itu maksud Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Tetapi bahwa pada masyarakat yang terjajah–mengalami kedzaliman dan ketakberdayaan hidup–perlu langkah nyata, peran Muhammadiyah jelas tak bisa diabaikan. Dan itu memerlukan seni tersendiri. Gagasan cemerlang Kyai Dahlan dengan mudah diterima kalangan pergerakan meski bidang garapan dan tanggung jawabnya tak sama.
Pengajian tabligh yang dilakukan Kyai Dahlan ke berbagai kota mendapat sambutan masyarakat. Persyarikatan Muhammadiyah juga melahirkan para pemikir dan cendekiawan yang berjasa dalam membumikan nasionalisme. Pada 1921 hampir di semua kota besar di Indonesia telah berdiri cabang Muhammadiyah yang tercatat dalam register pemerintah Belanda.
Membangun kesadaran rakyat terjajah agar tetap berdiri terhormat menjadi agenda penting yang dilakukan Kyai Dahlan. Kesadaran yang berbasis pemahaman ajaran keagamaan ini tidak saja memberi amunisi pergerakan tetapi juga membuat varian pergerakan. Kyai Dahlan dan Tjokro memiliki pemahaman yang sama tentang pemberdayaan rakyat di tanah jajahan. Cukup mengharukan bahwa Tjokro meninggal dan dimakamkan di Kuncen, Yogyakarta.

Pendidikan, dalam pengertian Mahaguru Sejarah UGM Sartono Kartodirdjo, adalah dinamit bagi kolonialisme. Pendidikan bukan hanya soal bangku sekolah lengkap dengan guru dan bahan pembelajaran. Pendidikan adalah soal membuka cakrawala berpikir, membangun paradigma dan membumikan ilmu. Pendidikan yang semula diinisiasi kolonial Belanda ternyata melahirkan kelompok intelektual yang paham akan tanggung jawab moralnya pada bangsa. Kesadaran inilah yang kemudian mempermudah meluasnya nasionalisme. Dalam konteks itu, pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan juga melahirkan kaum cerdik cendekia.
Salah satunya adalah KH Mas Mansyur (Surabaya, 25 Juni 1896) yang jasanya tidak kecil ketika menjadi Ketua Umum Muhammadiyah pada 1937 dan eksponen Empat Serangkai zaman Jepang. Para tokoh pergerakan asal Minangkabau kebanyakan juga para pimpinan Muhammadiyah.
Soekarno telah mengenal Muhammadiyah sejak masih berguru di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya pada 1918. Bahkan saat dalam pembuangan di Bengkulu, Bung Karno menjadi guru Muhammadiyah (1938) hingga bertemu dengan Fatmawati, anak seorang tokoh Muhammadiyah. Bung Karno bisa jadi belum pernah bertemu Kyai Dahlan, tetapi sebagai tokoh pergerakan dia tahu betul peran Ketib Kauman bagi tumbuh kembang kesadaran kebangsaan. Sebagai Presiden RI, Soekarno menetapkan Kyai Dahlan sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden No. 657 tahun 1961.
Ksatrian Sendaren, 23 Februari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



