Oleh: Yasraf Amir Piliang*
Aku terlempar di dalam sebuah dunia, di sebuah tempat, di sebidang tanah tua, di sebuah keluarga asal. Aku tak punya kuasa untuk menempatkan diriku di sebuah dunia sesuai kehendakku. Aku juga terlempar ke dalam sebuah foto, yang di dalamnya aku dibingkai, sebuah bingkai eksistensi. Aku terlempar ke dalam sebuah bingkai dunia, yang menyaring dan menyarikan sesuatu dari realitas. Bingkai foto itu mengalihkan dunia realitas sebagai latar belakang, dan mengangkatnya ke permukaan sebagai latar depan.
Foto adalah latar depan dari dunia realitas. Foto mengalihkan sesuatu dari kedalaman realitas dan memproyeksikannya ke dalam permukaan citra. Di dalam foto aku bagian dari dunia permukaan itu. Foto tercabut dari latar belakang realitasnya, dan kini berfungsi sebagai latar depan dari realitas. Aku ada di dalam sebuah foto sebagai latar depan, yang menjadikan latar belakang realitas tetap tak hadir ke permukaan.
Aku ada di dalam foto, tetapi aku tidak menatap ke arah kamera. Aku justru menatap ke dunia yang lain. Tatapan sejatinya adalah sebuah intensionalitas kesadaran. Seseorang menatap ke arah kamera dalam kesadaran difoto. Tetapi, di foto itu, di masa itu, aku ada di hadapan kamera tanpa kesadaran penuh tentang kamera.
Aku belum memiliki kesadaran sedang difoto, sebuah peristiwa minus intensionalitas. Karenanya, aku tidak menata diriku di hadapan kamera, sebuah pose alamiah yang tak dikonstruksi oleh kesadaran akan kamera, oleh kesadaran sosial. Tak ada medan tatapan yang dibangun, tatapan antara aku dan fotografer atau pelihat foto.
Aku membuang muka dari dunia foto, dari wacana tentang foto, dari struktur tatapan sosial foto, karena aku larut di dalam duniaku sendiri, sebuah dunia personal, sebuah dunia anak-anak [ ]
*Seorang Filsuf, Budayawan, Guru Besar FSRD ITB



