Windhihati Kurnia & ‘Puisi Caption’

Pada saatnya, foto berarti revolusi. Bukan aku yang berkata, tetapi Bung Hatta di abad silam. Melihat perkembangan sebuah kota bisa dilakukan dengan mengamati fotonya dari waktu ke waktu. Bandung 2023 tentu beda dengan Bandung saat Brouwer bertandang lalu bergumam, Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Itulah makna kata revolusi yang dirumuskan Hatta. Ada perubahan lanskap, tata kota, situs dan jejak sejarah, gedung dan jalan serta juga kisah di dalamnya.

Kerja seorang fotografer, dengan demikian, adalah kerja peradaban. Ia tidak saja menyimpan bukti dan jejak perjalanan tetapi juga menimbun fakta yang ada di dalamnya. Sejarawan, arkeolog, atau siapapun yang hidup kemudian, membaca dan menafsirkan foto itu untuk dijadikan narasi sejarah yang membantu kita untuk apa saja.

Bagaimana kalau yang menafsirkan foto itu adalah seorang penyair? Lebih dari membaca konteks yang tersimpan dalam foto, ia tentu dihadapkan pada dua kemungkinan. Secara rasional dia akan didekatkan pada jejak perjalanan, secara intuitif dia akan dibukakan kenangan dan perasaan. Itulah kenapa lagu Kla Project “Yogyakarta” atau petikan puisi Joko Pinurbo “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” begitu disukai siapapun yang pernah ke Kota Gudeg ini dan seperti selalu mengundangnya untuk datang lagi dan lagi. Dus, diksi adalah candu.

Bagaimana dengan Windhihati Kurnia? Dia tidak bermain di dua ranah (rasional dan intuisi) tetapi secara jeli memilih ranah ketiga: mengukir–bukan menempelkan–hati di tiap foto yang dipilih untuk diinterpretasikan. Mengukir itu kata kerja. Hemat kata tetapi dermawan makna. Dia tidak terjebak untuk segera memaknai foto sebagaimana ada dalam memori banyak orang, tetapi justru menarik pembaca agar bisa kontemplasi atas pertemuan, perjalanan dan kenangan yang kemungkinan membekas di dalamnya.
Ada beberapa penyair yang lebih dulu mencoba memadukan foto dengan puisi. Tetapi 56 puisi Windhihati benar-benar bersenyawa, enak dibaca dan mengena di rasa. Dia tidak ‘kampungan’ saat melihat rel lalu menulis perjalanan yang tak pernah berujung pada pertemuan, tetapi justru terbang jauh mengikuti gema suara yang muncul dari roda kereta zaman, lalu kembali dengan makna. Dalam beberapa hal, dia terbilang berhasil mengukir kata di tiap situs dengan makna sastrawi.

Apa yang dikerjakan Windhihati–bagiku–adalah sebuah pencapaian. Itulah apa yang kusebut dengan “Puisi Caption”. Puisi yang lahir dari upaya pemaknaan atas objek hingga memungkinkan kita pembaca untuk secara luas memberi tafsir dan pengertian baru atas objek yang sama. Ia, puisi itu, bisa dibaca secara mandiri terlepas dari objek, tapi menjadi guide saat kita menyinggahi kembali objek itu. Tentu, antologi “Masihkah Kau Ada di Kotak Pesan” ini kita harapkan menjadi pembuka bagi kerja budayanya mendokumentasikan sudut-sudut Kota Bandung dalam tatap mata seorang penyair. Seperti pintanya:

Kembalilah kelak
memberi denyut di jantung kata-kata
memeluk huruf-huruf dalam puisiku
menjadi bait yang bertaut
(Tentang Suatu Masa)

Terima kasih atas kiriman buku puisinya. Sepakat dengan pesanmu, “Karena dalam karya, kita abadi”. Bagi kami itu semakna dengan ungkapan “Verba vollant scripta manent”, apa yang diucapkan akan hilang ditelan angin, apa yang ditulis akan abadi.

Ksatrian Sendaren, 4 Juli 2023

Wahjudi Djaja (Alumni FS UGM)


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co