Oleh: Wahjudi Djaja*
Memperingati Hari Teater Sedunia 27 Maret 2024, dua hal sekaligus menarik untuk ditulis. Pertama, WS Rendra, sang pendiri Bengkel Teater yang kepak sayap meraknya dengan mudah bisa kita baca dan maknai ulang. Kedua, hari ini dimulai sidang Mahkamah Konstitusi untuk mengungkap tabir misteri Pilpres 2024.
Andai masih hidup, entah bagaimana Rendra melihat dan menyikapi panggung kontestasi politik yang rusak, saru dan menegasikan hak asasi manusia ini. Belum hilang dari ingatan bagaimana Rendra membacakan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia di gedung DPR pada 18 Mei 1998.
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
Lebih dari cukup potongan sajak di atas kita jadikan batu pijakan untuk membayangkan kemarahan Rendra melihat dinamika kekuasaan yang egois dan otoriter. Berdarah-darah dan memakan ribuan nyawa untuk menegakkan sebuah kata: Reformasi! Bersusah payah kita berusaha mengingatkan dan mengajak ke rel konstitusi kembali atas praktik kekuasaan yang bebal dan mau menang sendiri.
Tapi panggung teater–kemudian–bukan milik kita. Dalam wawancara panjang dengan Suara Merdeka (22/5/1994) Rendra secara gamblang menulis sekaligus berpesan:
Tidak berlebihan apabila seniman yang hidup di tengah masyarakat terpanggil serta ikut pula memikirkan tentang kesejahteraan hidup, daya hidup masyarakat, baik daya hidup kita sendiri, anak cucu dan bangsa. Hal ini penting sekali. Oleh sebab itu, keinginan saya saat ini ialah menghendaki adanya perubahan, terutama tentang emansipasi hukum. Menurut saya tahap itu itu dulu yang harus dicapai. Tetapi jangan terlalu terburu-buru dan brutal. Harus bertahap. Saya tidak suka pada keadaan yang brutal.
Dalam bahasa SujiwonTedjo Kompas (29/1/1994) setelah mengamati pementasan Hamlet oleh Bengkel Teater Rendra di TIM 26 Januari-4 Februari 1994, untuk mengungkap borok istana Hamlet (Rendra) menjadi sinting.
Seandainya Tuhan tidak melarang bunuh diri. Tuhan, oh, Tuhan. Betapa memuakkan, hampa dan datar adat istiadat di dunia ini. Hah! Dari benih dosa, lahirlah tanah kotor yang tidak disiangi. Ah, seorang raja yang mulia, dibanding raja yang kini, seperti pahlawan dibanding badut.
Banyak seniman, sastrawan, dan budayawan yang hidup sezaman dengan praktik kekuasaan, tetapi tak banyak yang seperti Rendra yang–dipilih sejarah untuk–mengartikulasikan rasa dalam kata. Kegelisahan itu bukannya tak dirasakan Rendra. Dalam Kongres Kebudayaan 1991, Kompas (31/10/1991), Rendra tajam berkata:
Dalam politik misalnya, zaman dulu di usia lebih muda muncul Tjokoroaminoto, Soekarno, dan Sjahrir, namun kita tidak melihat tokoh semacam itu sekarang. Kalangan mahasiswa tidak memunculkan opini, sungguh berbeda dengan keadaan di tahun 1928. Di kalangan drama dan sastra, kemunculan tokoh-tokoh baru terlambat.
Bangsa ini sedang berada di simpang jalan. Pilihan dan keputusan kita hari-hari ini akan sangat menentukan kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Apakah kita–seperti sering diungkapkan–sebagai penonton dan pendorong kendaraan mogok yang kemudian ditinggal begitu mesin menyala, atau menjadi saksi dan pelaku sejarah yang aktif menentukan hitam putih sejarah, semua tergantung pada kita. Atau, justru bukan keduanya, kita jogeti saja panggung teater tanah air meski ceritanya tentang ironi dan tragedi. Entahlah.
Ksatrian Sendaren, 27 Maret 2024
*Alumni FS UGM



