Oleh: Wahjudi Djaja**
Pada 7 Oktober 2023 Kota Yogyakarta berusia 267 tahun. Sebuah kota yang didesain dengan penuh pertimbangan spiritual-filosofis oleh Pangeran Mangkubumi menjadi jantung peradaban yang melanjutkan estafet sejarah kemasyhuran Mataram. Pangeran Mangkubumi secara cerdas memilih pusat kerajaan di lokasi yang dikelilingi tujuh sungai (sapta sendavah) sebagai perisai alamnya. Bisa jadi hanya Yogyakarta dimana hakikat dan siklus hidup manusia (sangkan paraning dumadi) diguratkan menjadi lanskap kota lengkap penanda dan simbolnya. Bukan sebuah kebetulan jika UNESCO memberikan kado istimewa berupa pengakuan sumbu filosofis sebagai situs warisan dunia. Tulisan berikut akan mengelaborasinya dari sudut pandang pendidikan karakter dan pariwisata kesejarahan.
Dari Narasi Menuju Aksi
Yogyakarta adalah kota dengan peran dan predikat kesejarahan yang panjang. Selain sebagai jantung peradaban Mataram dengan pusat di Kotagede, oleh sejarah kota ini memperoleh predikat sebagai Kota Perjuangan, Kota Pendidikan, Kota Budaya dan Kota Pariwisata. Predikat itu bukan narasi kosong tetapi bisa dilacak akar sejarah dan konteks sosiologisnya.
Hampir tiap sudut kota ini menjadi saksi bisu saat Yogyakarta menjadi ibukota revolusi. Jauh sebelum merdeka Ki Hajar Dewantara telah meletakkan fondasi pendidikan yang memerdekakan jiwa anak melalui Taman Siswa. Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahkan telah membumikan visi kemerdekaan dan kebangsaan dengan membangun asrama untuk mahasiswa dari berbagai penjuru Nusantara. Poros Gampingan (seniman) – Malioboro – Bunderan (ilmuwan) menjadi urat nadi peradaban yang melahirkan banyak pemikir, seniman, budayawan, sastrawan, dan penyair yang berjiwa merdeka. Semua fakta di atas ditopang oleh peran dan keberadaan Kraton dan Pakualaman sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Narasi sejarah yang dimiliki Kota Yogyakarta itu lebih dari cukup untuk dijadikan modal pendidikan karakter. Caranya dengan mentransformasikannya ke dalam serangkaian program dan kegiatan. Strategi yang paling tepat untuk memperkenalkan narasi sejarah dan jiwa merdeka itu adalah melalui jalur pendidikan. Sejak dini sampai sekolah menengah, Keyogyakartaan harus menjadi mata pelajaran wajib di sekolah, bukan hanya ekstra kurikuler atau selapan sekali mengenakan busana Jawa. Keyogyakartaan harus masuk dalam kurikulum sesuai jenjang pendidikan. Karakter pendidikan itu belajar merdeka, bukan merdeka belajar.
Jangan sampai terjadi anak-anak Yogyakarta tak mengetahui sejarah dan ruh budaya yang ada di kota ini. Sudah saatnya pula beragam serat, babad atau kitab karya para pujangga Kesultanan Yogyakarta dibuka, diterjemahkan dan dijadikan materi pendidikan karakter di lembaga pendidikan. Kota ini akan dan sedang bergerak maju. Elok kiranya jika generasi penerusnya masih tetap berpegang pada akar sejarah, ajaran dan falsafah para leluhurnya. Jepang, Cina, Korea bisa diteladani bagaimana menjaga marwah peradabannya.
Dari Conventional Tourism Menuju Quality Tourism
Pariwisata telah menjelma menjadi bisnis raksasa dan lintas negara. Beragam korporasi pun makin intensif mencari peluang bisnis wisata. Pemerintah sendiri telah menempatkan pariwisata sebagai lokomotif pembangunan. Ada peluang besar untuk menyerap tenaga kerja, mengembangkan ekonomi lokal, membangun infrastruktur dan meningkatkan devisa. Konsekuensi yang muncul adalah kemacetan lalu lintas, kerusakan ekosistem, sampah dan meningkatnya polusi. Dalam beberapa tahun terakhir kita sudah merasakan kelangkaan air tanah karena eksploitasi kawasan hulu (Merapi) dan merebaknya pembangunan hotel di kawasan hilir. Mungkinkah Yogyakarta masih berhati nyaman bagi warganya?
Bisa jadi untuk menjawab pertanyaan itu Penjabat Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo, mencoba menawarkan quality tourism. Pendekatan ini menempatkan keyogyakartaan termasuk sumbu filosofis sebagai materi story telling. Lebih dari sekedar paparan pemandu wisata kepada wisatawan, model ini mensyaratkan pemahaman yang mendalam tentang aspek kesejarahan, filosofi dan praksisnya dalam kehidupan. Apalagi sesuai SK Gubernur Nomor 186/KEP/2011 kawasan Kraton, Pakualaman, Kotagede, Kotabaru dan Malioboro telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Tentu saja bukan hanya memberikan kisah indah bagi wisatawan tetapi juga bagaimana Pemkot Yogyakarta mendesain dan mengembangkan kawasan itu agar benar-benar layak sebagai destinasi, bagi wisatawan dan juga warganya.
Sehari setelah penyerahan kedaulatan pada 28 Desember 1949 dan harus kembali ke Jakarta, Bung Karno mengguratkan pesan di bandara Maguwo. ”Yogyakarta menjadi termasyhur oleh karena jiwa kemerdekaannya. Hidupkan terus jiwa kemerdekaan itu”. Kesaksian Bung Karno yang sejak awal 1946 sampai 1949 dipangku Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu lahir dari pengalaman keseharian bersama wong Jogja yang memiliki determinasi tersendiri hingga karakternya melekat di banyak orang. Hampir semua elite politik, seniman, sastrawan, budayawan, penyair, dan kalangan militer yang kini menghiasi panggung nasional pernah minum air Yogyakarta. Semoga marwah dan berkah peradaban ini bisa terjaga, bermakna dan bermanfaat bagi pemerintah dan warganya. Dirgahayu Kota Yogyakarta.
*Pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat 7 Oktober 2023
**Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd. Dosen STIEPar API Yogyakarta, Ketua Umum KASAGAMA (Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada)



