Oleh: Wahjudi Djaja*
Dunia sastra Indonesia kembali harus membaca berita duka. Sastrawan Yudhistira Andi Noegraha Moelyana Massardi dipanggil kembali Yang Maha Kuasa pada Selasa (2/4/2024) pukul 21.12 WIB di RSUD Bekasi. Sosok yang lahir di Subang Jawa Barat (28 Februari 1954) ini dikenal sebagai jurnalis, penyair dan penulis. Pernah tinggal di Yogyakarta hingga menamatkan SMP dan SMA Taman Siswa, Yudhis kemudian mendedikasikan hidupnya di Jakarta.
Latar jurnalistik (jounal berarti catatan harian) nampaknya cukup dia pegang dalam meramu kata menjadi kalimat-kalimat dengan nuansa sastra penuh hikmat. Kata kuncinya, karya yang dibuat harus bisa menjalin komunikasi dengan pembacanya, bahkan menjangkau publik seluas-luasnya. Beberapa puisinya dikategorikan mbeling, absurd dan cair sebagaimana Remy Silado. Dalam testimoni cendekiawan muslim Fachry Ali, diungkapkan:
Yudhis, pada 1980-an tampil bukan saja dengan sajak-sajak ‘embeling’, melainkan juga menjadi novelis. Karyanya ‘Arjuna Mencari Cinta’ sempat dipersoalkan dalam cerpu politik-budaya Orde Baru. Itulah sebabnya, Benedict Anderson memberikan pembahasan tertentu atas novel ini dalam kumpulan karyanya ‘Language and Power: Exploring Political Culture in indonesia’ (1990).
Dalam bahasa Kurniawan Djunaedi, kemunculan Yudhis memberi harapan setidaknya dalam dua hal. Pertama, sebagai penyair Yudhis telah membuktikan bahwa dirinya punya pemerhati mengingat tempat pertunjukan yang belum populer. Kedua, ia berhasil memberi bobot sebagai pembaca sajak yang diperhitungkan. Untuk menjadi pembaca yang baik, dia tak perlu jungkir balik segala (Kompas, 26/12/1985).
Dalam “Sajak Sikat Gigi”, Yudhis secara cair cenderung jenaka menulis:
Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidur ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan dia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.
1974
Enteng tetapi masuk dalam imaji keseharian para pembacanya. Tak perlu dibebani dengan rentetan diksi yang perlu dua tiga kali baca untuk bisa mencernanya, Yudhis menutup sajaknya dengan penyadaran tentang hidup yang–sebaiknya–penuh kesadaran. Sesuatu yang berlebihan sering berujung pada ketaknormalan atau anomali. Dan dalam hidup, itu semaksimal mungkin dia hindari.
Hanya berteman di Facebook dan belum pernah sama sekali bertemu, Yudhis sering secara hangat mengapresiasi status tentang tokoh atau tema tertentu yang saya tulis. Itu lebih dari cukup bagi saya untuk merasakan kehangatan hubungan (media) sosial.
Bergerak dari puisi sekedar penghangat komunikasi sosial, Yudhis makin ke sini juga menawarkan kontemplasi, penyadaran dan kanalisasi atas masalah dan tema-tema besar dalam kehidupan. Rangkaian puisinya di Media Indonesia (24/7/2022) jelas sekali arah permenungan yang dia tawarkan.
Dalam “Kudengar Detik Waktu”, Yudhis mengajak pembaca untuk memberi makna dan tafsir atas cinta dalam lipatan waktu:
Kudengar detik waktu
Menganyam pagi jadi malam
Hingga kamu nyenyak
Sesudah Cinta
Memasukkan rembulan
Ke balik awan.
“Jangan punguti silam!”
(Bekasi, Juli 2022)
Manusia sering terjebak dalam rutinitas dan keseharian. Energi dihabiskan, kadang untuk sesuatu yang maya, fana dan sementara. Dia mengingatkan kita untuk memaknai Cinta sebelum semuanya terlambat menjadi sejarah. Hidup adalah mengalir ke masa depan, tak bisa ditarik mundur ke belakang. Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri sebelum malam benar-benar tiba dengan gulita.
Dan saat waktu benar-benar mendekat, dengan indah dia rangkai kata dalam jubah penuh kehambaan yang luar biasa. Dalam sajak “Akhirnya Kita”, Yudhis mengalami transformasi imani yang sungguh mendalam, khusuk dan mencerahkan ruhani:
Akhirnya kita
Seperti dedaun
Runduk pada musim
Di kering Waktu
Kuning-rontok
Terjala ajal
Terjal
Seperti jatuh hujan
Pada aspal
Bersama bunyi langit
Guruh-gaduh
Di gunduk kubur
Sunyi-dengkur.
(Bekasi, Maret 2022)
Dia membaca waktu. Dia memformulasikan ajal dengan sesuatu yang alamiah, nyata dan–karenanya–harus disambut dengan suka cita. Tak ada kesedihan.Tak ada ketakutan, apalagi kepengecutan dalam konteks keimanan. Apakah dia sadar dan merasa bahwa ajal telah mendekat? Wallahualam. Namun, kesadaran akan kesementaraan hidup dan perlunya menyadari hakikat hidup–dengan Tuhan sebagai teman sejati–terlihat jelas pada sajak “Tuhan: Air Mata”.
Dalam derita dan bahagia
Tuhan ada
Patahkan ranting rapuh
Tegakkan batang tiang
Tuliskan air mata
Wujud-wujud sujud
Jiwa-jiwa doa
Minta badai reda
Riang panjang
Hapuskan air mata.
(Bekasi, Juni 2022)
Bilapun tak merasakan dan menyadari ajal yang mendekat, Yudhis nampaknya memahami sepenuhnya perjalanan hidup yang pasti akan sampai di ujung. Dalam sajak “Akhirnya Kita…” dia dengan cerdas membahasakan perjalanan itu dalam metafor yang sempurna:
Akhirnya kita
Seperti dedaun
Runduk pada musim
Di kering Waktu
Kuning-rontok
Terjala ajal
Terjal
Seperti jatuh hujan
Pada aspal
Bersama bunyi langit
Guruh-gaduh
Di gunduk kubur
Sunyi-dengkur.
(Bekasi, Maret 2022)
Gegap gempita politik yang menegasikan etika dan moral nampaknya cukup menggelisahkannya. Yudhis tak berpolitik praktis, tetapi sebagai hamba budaya dia paham ke arah mana perjalanan bangsa ini bergerak dan digerakkan. Dalam sajak “Selamatkan Indonesia!” dia memberikan pesan menukik yang jauh menghunjam dalam kesadaran kebangsaan kita. Sajak ini memiliki pesan kesejarahan lintas zaman sebagaimana sering dilakukan oleh WS Rendra.
Kebodohan adalah kegelapan setiap zaman
Di dalamnya tergumpal kebencian dan kekerasan
Mata dan hati yang dibutakan
Demagogi fanatisme
Fabrikasi kepalsuan Kuasa syahwat dan narkoba
Yang dijual tipu daya: Agama dinista-perkosa!
Di mimbar-mimbar
yang memuliakan kesesatan
Di bendera-bendera
yang mengibarkan perang saudara
Bangunlah wahai kaum beriman!
Tegakkan Kebenaran dengan Kewarasan!
Teguhkan Akhlak Mulia dengan Akal Sehat!
Selamatkan Indonesia Bhinneka!
Indonesia ada karena kita berbeda
Indonesia ada karena kita bersama!
(Bekasi, 12 April 2022)
Sebuah perjalanan hidup yang indah, sarat kearifan dan kaya pelajaran. Yudhis telah menyelesaikan tugas peradabannya. Sebagai pribadi dia telah mengalami transformasi ruhani dan imani. Sebagai warga negara dia telah memprasastikan pesan penyadaran untuk dibaca oleh anak-anak zaman. Dan kita doakan, Yudhis kembali dengan penuh keikhlasan, kesadaran, serta penerimaan.
Selamat jalan Bang, damai bahagialah di keabadian.
Ksatrian Sendaren, 2 April 2024
*Alumni FS UGM, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



