Ziarah Tanah Jawa, Cara Iman Budhi Santosa Mengajak Jiwa Kembali

Oleh: Wahjudi Djaja*

28 Maret 1948. Iman Budhi Santosa lahir di Kauman, Karangrejo, Magetan, Jawa Timur. Sebuah desa lama yang merujuk pada tradisi kerajaan Islam. Setidaknya ada 20 desa di Jawa Timur yang menggunakan nama Kauman. Sejarawan UGM Adaby Darban (2010) meneliti asal usul nama Kauman ini dalam Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Masyarakat Kauman, tulisnya, terbentuk oleh adanya ikatan keagamaan, pertalian darah dan jabatan kepegawaian sebagai abdi dalem.

Cukup menarik bahwa Kauman, Karangrejo, Magetan adalah desa tempat dimana para pengikut setia Pangeran Diponegoro berdiam diri, tinggal dan mengembangkan kebudayaan. Bahkan sampai kini Desa Kauman dikenal sebagai sentra pembuatan gongsa (gamelan). Ini perlu pelacakan lebih lanjut mengapa di sisi timur Gunung Lawu justru berkembang tradisi pembuatan gamelan. Jika asumsi pengikut Pangeran Diponegoro disepakati maka semakin menarik bahwa desa yang jauh dari pusat kota Mataram (Yogyakarta) masih mempertahankan warisan leluhurnya.

Kerajinan gamelan di Kauman Magetan (Foto: Disbudpar Magetan)

Narasi lain yang berkembang adalah desa ini sempat dibumihanguskan oleh PKI pada periode 1948. Jika benar maka ini terjadi saat Iman Budhi Santosa masih belia bahkan mungkin belum ada setahun usianya. Menapaki sekolah di SR Kauman dan SMP Negeri Magetah, Iman melanjutkan pendidikan di SPBMA Yogyakarta pada 1964. Empat tahun kemudian (5 Maret 1968) dia telah menjadi salah seorang pendiri Persada Studi Klub (PSK) bersama Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Soeparno S Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan M Ipan Sugiyanto Sugito. Inilah sebuah komunitas sastra yang legendaris bila kita mengangkat tema sejarah kesusastraan.

Lahir dalam wilayah Bang Wetan–mancanagara sisi timur dalam perspektif kemataraman–Iman mengikuti suara hatinya hingga berlabuh di kuthagara Ngayogyakarta. Di sinilah Iman ditempa dengan budaya Jawa, hal yang kemudian membekas dalam laku hidupnya. Jawa, lebih dari sekedar lokalitas geografis, baginya adalah semesta makna yang kaya makna simbolik, bahkan sebagai penyelamat sejarah Mataram. Dalam Kalakanji (2018), dalam “Tentang Sebuah Mitos yang Bernama Yogyakarta” Iman menulis:
Berdasar pandangan spiritual Jawa, nama Giyanti dan Ayogya mempunyai makna besar bagi Yogyakarta. Meski Giyanti merupakan nama tempat dilakukannya perjanjian segitiga (Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono III dan VOC) pada tahun 1755, namun kata ‘giyanti’ sendiri dapat berarti pertukaran atau penggantian. Sedangkan ayogya, dapat diartikan persetujuan. Dengan demikian, perjanjian Giyanti sama sekali bukan sebuah ‘perpecahan’ antara Surakarta-Yogyakarta sebagaimana kisah Pandawa-Kurawa. Melainkan, sebuah proses alih generasi. Di mana secara implisit Pakubuwono II telah nayogyani (menyetujui) pergantian kekuasaan Mataram dan Yogyakarta (Hamengku Buwono I) sebagai penerusnya, karena Surakarta sudah sedemikian ringkih, dengan adanya dua kerajaan, diharapkan sejarah Mataram dapat diselamatkan.

Bergerak dari tataran tekstual ke spiritual, Iman mencoba menempatkan tafsir baru dalam membaca sejarah. Secara faktual, palihan nagari 1755 telah membelah Mataram menjadi dua kerajaan, tetapi itu–sebagaimana dia tulis–tak cukup bisa memisah ruh atau jiwa kemataraman. Pusat kekuasaan Mataram bermula di Kotagede, lalu sejarah menggerakkannya ke Kerta, Pleret, Kartasura dan kemudian kembali ke Yogyakarta. Apakah ini sebuah kebetulan? Bagi Iman, bukan, ini adalah gerak ide yang selalu mempertimbangkan harmoni.

Duduk penuh tawaduk di Purna Budaya UGM (Foto: Wahjudi Djaja)

Dalam “Menggali Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Jawa”, Iman bersaksi:
Tegasnya, kosmos Yogya hanya kondusif menjadi pasar gagasan, bukan pabrik barang jadi. Yogya hanya mirip sebuah dapur, bukan restauran. Di sini penuh bisik hati nurani, tapi jarang terjadi gebrakan pukulan dan tendangan. Yogya ibarat sebuah hutan belantara, di mana bunyi angin terdengar terdengar keras. Bukan semacam metropolitan, di mana pesawat jatuh nyaris tak terdengar.

Sebagai manusia Jawa–yang telah kembali–dan meminum air ayogya, Iman tahu pasti apa yang harus dilakukan untuk meneguhkan kembali Yogyakarta sebagai sumur inspirasi bagi tumbuh kembang peradaban. Bertahun lamanya njajah desa milangkori menyinggahi sudut-sudut padusunan, membuka beragam pustaka, hingga mewujud sebuah buku Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan. Secara detil dan faktual dia identifikasi, deskripsikan dan narasikan keterkaitan vegetasi dengan manusia dan desa. Sebuah dedikasi yang amat mengagumkan dilakukan oleh orang yang memahami dunia sastra budaya karena laku hidup dan bukan dari bangku kuliah.

IBS di Malioboro, jantung kehidupan sastranya (Foto: Wahjudi Djaja)

Ajakan itu kemudian dia formulasikan dalam sebuah antologi puisi Ziarah Tanah Jawa (Kumpulan Puisi 2006-2012). Bergerak dari sekedar lanskap, Iman menjadikan legenda, kisah, pewayangan dan beragam prastawa–peristiwa spiritual kesejarahan–sebagai media dan upaya untuk mengajak jiwa kembali ke Jawa. Ada kegelisahan jika raga dibiarkan diperbudak dan merana akibat eksploitasi kehidupan.
Mungkin, lewat bunyi perkutut atau derkuku
Mengejawantah lagi nasihat para wali
Merasuk kembali pepatah petitih ke dalam puisi
Merayakan sekuntum melati mekar
Pada setiap hati sanubari

Hidup boleh bergerak maju, modern dan rasional. Namun ada saat kita harus ziarah (ziyadah yang berarti menziarahi, menengok atau mengunjungi) untuk membangkitkan kesadaran dari mana dan mau kemana kita menjalani hidup. Dalam konteks itu, Iman Budhi Santosa adalah seorang Duta Peradaban yang mau dan mampu memerankan diri secara sukarela untuk membuka selubung misteri kebudayaan agar terbaca dan dipelajari. Tutur kata yang terjaga, penuh mempertimbangkan rasa, dan selalu ngrengkuh kaum muda adalah sebagian karakter yang tak pernah terlupa.

Bersama IBS (kedua dari kiri) dalam Kongres PSBNS (Foto: Wahjudi Djaja)

Saat saya menjadi Ketua Panitia Pelaksana Kongres Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS) tahun 2016, meminta beliau menjadi salah satu narasumber. Terharu dengan email yang beliau kirim bersama makalah:
Mas Wahjudi, menika kula email makalah kangge tgl. 19 kaliyan CV kula. Makalah menika mligi tuwuh saking gagasan kula, pramila menawi wonten kirang trepipun enggal ngendika, mangke kula ewahi utawi gantos tema. Makaten, ndadosna pamriksa.

IBS/10/11/2016.

Selamat ulang tahun Kangmas, semoga damai bahagia di keabadian. Terima kasih atas persentuhan, pembelajaran dan penerimaan selama hidup, semoga berkah berpahala. Aamiin

Ksatrian Sendaren, 31 Maret 2024
*Alumni FS UGM, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co